Perguruan tinggi harus mencetak cendekiawan, bukan sekedar mencetak sarjana, karena saat ini banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak menjadi aset bagi negara, tapi justru menjadi beban. Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, dalam orasi ilmiahnya pada acara Dies Natalis ke-56 Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin 10 September 2012.
Menurut Mahfud, saat ini banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak menjadi aset bagi negara tapi justru menjadi beban bagi negara. Hal tersebut muncul karena sistem kerja diIndonesiayang lebih menghargai ijazah daripada kapabilitas sesorang, akibatnya tumbuh beberapa perguruan tinggi yang sekedar formalitas belaka. Bahkan gejala muncul saat ini, kejahatan korupsi justru didominasi oleh lulusan perguruan tinggi.
Lebih lanjut dinyatakan Mantan Menteri Pertahanan RI di era Presiden Abdurrahman Wahid itu, ijazah telah menjadi komoditas yang dimanfaatkan pejabat atau pun pegawai negeri sipil untuk memperoleh jabatan tertentu. Saat ini banyak ilmuwan tukang, orang yang memiliki ilmu yang banyak tetapi produk ilmunya bisa dipesan sesuai dengan keinginan orang yang memesannya. Kondisi ini tentu tidak sesuai dengan konstitusi yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana sesorang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga berbudi.
"Pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda," terang Mahfud. Menurutnya, pengajaran hanya mencerdaskan otak, tapi belum mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini menimbulkan berbagai masalah, munculnya keberingasan sosial, etika politik yang tidak ada, kebijakan hukum yang diputus melalui cara-cara yang terbukti curang, dan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga masyarakat. Bahkan, hukum pun dikembangkan dengan cara tipu menipu, hukum bukan lagi untuk keadilan melainkan untuk mencari kemenangan.
Dikatakan olehnya, Mantan Jaksa Agung (alm.)Baharuddin Lopa pernah mengungkapkan hasil penelitian mengenai rusaknya hukum diIndonesia, banyak pengacara yang tidak menjadikan hukum sebagai alat perdamaian, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk menciptakan konflik, menjadikan orang selalu mencari-cari perkara. Bahkan ada pengacara yang bisa mengatur polisi dan jaksa untuk menggunakan pasal-pasal yang digunakan dalam tuntutan, semua bergantung pada kekuatan uang dan kekuatan politik
“Keadaan tersebut juga terjadi di kalangan pejabat,” tukas Mahfud. Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Pembantu Rektor III Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tersebut, banyak pejabat kalau berdebat selalu menggunakan pasal-pasal, sehingga bukan substansi permasalahannya yang diperdebatkan, melainkan hanya substansi pasal-pasalnya saja yang diperdebatkan.
Diingatkan juga, dahulu ada enam amanah reformasi yang disepakati, dimana kita semua menghendaki adanya amandemen Undang-Undang Dasar, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakkan supremasi hukum dan pemberantasan KKN, kebebasan pers, otonomi daerah, serta demokratisasi, hanya satu yang belum dilakukan, yaitu penegakan hukum dan pemberantasan KKN.
Menurut Ketua MK ini, perguruan tinggi tidak boleh hanya mencetak sarjana semata, namun harus mampu menghasilkan cendekiawan. Konstitusi dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar UUD 1945 telah merumuskan, fungsi pendidikan adalah untuk mencetak manusa Indonesiayang beriman, bertakwa dan berahlak. “Oleh karena itu, ada beberapa nilai filosofis yang harus dipegang perguruan tinggi, pertama mengintegrasikan ilmu dan iman, serta mengembangkan mutu rasionalitas tapi tidak terjebak dalam rasionalisme. Pendidikan juga harus memihak pada kemanusiaan, meski dalam metode-metode penyampaiannya, pendidikan harus bebas nilai atau netral, “ ingatnya. (Ilham/mh)