INILAH.COM, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) ternyata tidak dimintai pendapat mengenai usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke DPR mengenai dikembalikannya penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Konstitusi (MK) ke Mahkamah Agung (MA).
"Kalau itu diubah, maka otomatis harus merubah undang-undang yang ada," kata komisioner KPU, Arif Budiman usai persidangan di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (10/9/2012).
"Sepengetahuan kami, KPU yang baru tidak diajak membahas soal itu. Dalam beberapa kesempatan kami juga belum membahas itu," tambahnya.
Meski begitu, dia belum mengetahui persis apakah komisioner KPU lainnya juga tidak dimintai masukan mengenai usulan tersebut. Yang pasti, pihaknya sudah menerima draft usulan dikembalikannya penanganan sengketa hasil pilkada dari Kemendagri.
Sebelumnya, Kemendagri mengusulkan penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang selama ini diselesaikan MK dikembalikan lagi ke MA. Salah satu alasan mendasarnya adalah faktor efisiensi dan efektivitas penanganan sengketa pilkada itu sendiri.
"Banyak calon kepala daerah kalah dalam penyelenggaraan pilkada, tetapi nyatanya mereka bisa memobilisasi orang ke Jakarta," tegas Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnizar Moenek, di ruang kerjanya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (10/9/2012).
Dia mengakui penanganan sengketa hasil pilkada di MK selama ini on the track. Sebab, dalam prosesnya dilakukan secara transparan dan hakim-hakimnya menutup peluang adanya transaksi di luar persidangan. Hasilnya sesuai fakta-fakta dan bukti-bukti yang ada, sehingga mendapatkan apresiasi berbagai pihak.
Namun, kata Moenek, untuk mendatangkan ratusan bahkan ribuan orang ke Jakarta (MK) tempat dimana persidangan digelar, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal inilah yang dipandang Kemendagri kurang efektif dan efisien.
Selain itu, kelembagaan MA lebih terstruktur hingga ke daerah-daerah melalui pengadilan tinggi (PT). Sehingga setiap kali pilkada digelar menimbulkan permasalahan yang cukup diselesaikan di daerah dimaksud.
"Sudah ada 33 pengadilan tinggi di daerah, mereka mempunyai kantor, fasilitas yang bisa difungsikan dibandingkan harus ke Jakarta," tutur Moenek.
Draft usulan RUU pilkada mengenai penanganan sengketa hasil pilkada sendiri sebagaimana dikemukakan Moenek sudah disampaikan ke DPR.