Reformasi hukum merupakan agenda utama sebenarnya dalam reformasi kita pada tahun 98, meskipun orang menyebut itu reformasi politik. Sebenarnya intinya bertujuan untuk menegakkan supremasi hukum yang benar. Tidak ada gunanya kita membuat format poltik baru kalau hukum tidak mampu menunjang dan melaksanakan apa yang digagas dalam pembaruan politik tersebut.
Demikian di utarakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat mengawali pembicaraan dalam Seminar Nasional "Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi" di gedung Bonaventura Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Sabtu (8/9). Seminar diselenggarakan dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang ke-47 dan HUT yang ke-67 surat kabar harian Kedaulatan Rakyat.
Mahfud menyampaikan bahwa pada saat ini kita mengalami kemunduran. Karena sekarang ini, dari tahun 2004 sampai sekarang, politik demokrasi menjadi politik yang oligarkis, yang artinya keputusan-keputusan politik telah didominasi oleh elite–elite politik yang kemudian saling bersengkongkol satu dengan yang lain. Selain itu, di sisi lain saling menyandera antara satu dengan yang lain, tetapi, secara diam-diam juga sering terjadi persengkokolan diantara tokoh–tokoh politik tersebut. Sehingga banyak sekali persoalan persolan politik kita yang sulit untuk diselesaikan.
"undang-undang di bidang politik dan penegakan hukum paling banyak diuji dan paling banyak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena memang ada latar belakang kecurangan terhadap hak-hak politik rakyat," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut sejak 2008 ini.
Mahfud menambahkan, bahwa ketika politik demokrasi berubah menjadi politik oligarkis maka hukum juga akan menjadi tidak baik. Itu artinya lebih banyak mendukung bagi kepentingan-kepentingan elite. Kalau kita membicarakan pembangunan hukum dalam rangka supremasi hukum sekarang ini, maka kalau kita membicarakan soal substansi hukum yang pada umunya sudah bagus. Misalnya hukum tentang hak asasi manusia sudah lengkap, hampir semua yang penting sudah diratifikasi bahkan hampir seluruhnya masuk di dalam UUD 45.
Secara substansi peradilan juga mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Kalau dulu peradilan sering membuka pintu intervensi oleh pemerintah, zaman reformasi itu sudah menyatakan peradilan sudah terlepas bukan hanya secara fungsional tetapi juga secara finansial dari pemerintah, sehingga hakim-hakim ada di Mahkamah Agung dan kita juga telah membentuk lembaga baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
"Dengan adanya permasalahan yang mendasar tentang politik demokrasi yang berubah menjadi poltik oligarkis, banyak meyebabkan kelemahan hukum. Dimana banyak permainan hukum yang telah diatur oleh para elite politik sendiri, dengan berbagai cara yang dinilai tidak baik. " tambah Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini.
Problem penegakan hukum di indonesia kata Mahfud, berada pada aparatnya dan bukan pada substansinya. Dalam mempermainkan hukum ini ada yang main dengan kasar, yakni dengan menyuap, menyandera atau meneror hakim atau jaksanya. Sehingga menyebabkan banyaknya masalah-masalah yang macet penyelesaiannya.
"Amputasi secara besar-besaran terhadap para penegak hukum dengan atas nama undang-undang, adalah salah satu cara untuk menegakkan hukum yang baik di negara indonesia."
Integritas moral dan etika di kalangan penegak hukum yang tidak kunjung membaik, apakah itu jaksa, pengacara atau hakim pada saat ini sedang mengancam kita sebagai bangsa. Intergritas moral dan etika penegak hukum seharusnya terbentuk lebih baik, karena integritas moral dan etika didalam penegakan hukum menjadi sangat penting untuk diwujudkan. (Panji erawan/hamdi/mh)