Pemeriksaan pendahuluan Pengujian UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)- Perkara No. 83/PUU-X/2012 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (7/9) pagi. Pemohon adalah Pungki Harmoko warga Jakarta Pusat, yang menganggap UU tersebut tidak selaras dengan cita-cita dan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merugikan secara khusus terhadap Pemohon dan umumnya terhadap seluruh rakyat Indonesia.
Pemohon berdalih, sanksi-sanksi dalam UU No. 20/2001 secara keseluruhan tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi. “Tidak memberikan rasa takut bagi oknum tertentu yang telah memiliki niat mencuri uang rakyat, sehingga menambah ketidakpercayaan masyarakat kepada penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Pemohon.
Sanksi-sanksi dalam UU No. 20/2001 termaktub dalam sejumlah pasal, antara lain Pasal 5 ayat (1), “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah):
- a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
- b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya …”
Sedangkan Pasal 6 ayat (1), “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang …”
Pemohon menjelaskan, keberadaan hukum harus mampu menjaga setiap warga negara dan melindunginya agar secara sadar mereka takut untuk melanggarnya. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang taat dan sadar hukum serta hidup tenteram dan damai.
“Kaitannya dengan hukum tindak pidana korupsi adalah kebalikannya. Terbukti dengan dikenakannya hukuman kurungan dan denda, angka pelanggaran semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan yang paling menyedihkan, bangsa kita telah mendapat predikat sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik. Korupsi telah menggurita dari kelas elit hingga masyarakat kelas bawah,” ucap Pemohon.
“Ini berarti, hukum tindak pidana korupsi yang telah dibuat tidak mampu melindungi warga negaranya dan seluruh tumpah darah Indonesia,” tambahnya.
Dikatakan Pemohon, berkenaan dengan tujuan hukum untuk memajukan kesejahteraan umum, hal ini bertolak belakang. “Berapa banyak uang negara yang dikorupsi oleh oknum-oknum yang mementingkan kepentingan diri dan golongannya. Uang yang seharusnya dapat dipakai untuk menyejahterakan rakyat banyak, malah masuk ke rekening-rekening milik pribadi,” tegas Pemohon.
Pemohon menyarakan agar melakukan kaji ulang hukum Tipikor, misalnya diberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Namun, bagi pelaku korupsi yang melakukan pelanggaran sebelum ditetapkan hukuman mati, dia melapor sebelum masa tenggat habis dan menyerahkan seluruh uang korupsinya, maka ia dibebaskan dari hukuman mati.
“Berdasarkan apa telah saya jelaskan di atas, dapat disimpulkan UU Tipikor adalah cacat hukum karena tidak sesuai dan selaras dengan tujuan berdirinya NKRI yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila,” tandas Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)