Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar mengatakan bahwa proses pembelajaran konstitusi di sekolah harus bisa menjadikan anak didik (pelajar) memahami kebermaknaan konstitusi, sehingga anak didik bisa mewujudkan dalam perilaku yang baik sebagai akibat dari pembelajaran konstitusi yang dilakukan selama berada di sekolah.
Demikian disampaikan oleh Janedjri saat menjadi narasumber dalam kegiatan Pemilihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Berprestasi pada Pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tingkat Nasional tahun 2012, Jumat (7/8), di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, dihadiri oleh ratusan tenaga pendidik dari sejumlah daerah di Indonesia, dan tenaga pendidik yang berada di luar negeri.
Dalam hal ini, Janedjri melanjutkan, guru memiliki peran utama dalam melakukan penetrasi nilai-nilai konstitusi melalui pembelajaran yang lebih tepat dan efektif di bangku sekolah. “Oleh karena itu, mudah-mudahan para guru memiliki semangat tinggi untuk berperan lebih besar dalam upaya meningkatkan kualitas SDM anak-anak bangsa, dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran terhadap konstitusi,” harap Sekjen MK.
Disisi lain, kata Janedjri, pembelajaran konstitusi yang kerap kali menggunakan model hafalan hanya menyebabkan anak didik tidak memahami kebermaknaan konstitusi. “Oleh karena itu, para guru diharapkan mempunyai pemahaman yang lebih baik, sebab nantinya pemahaman yang dimiliki akan disebarluaskan kepada anak didiknya,” terangnya.
“Modelnya jangan hafalan, tetapi pemahaman, dan dilaksanakan,” pesan kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini, dihadapan peserta didik yang hadir dalam kesempatan itu.
Kesadaran Berkonstitusi
Dalam tema yang berjudul “Mewujudkan Kesadaran Berkonstitusi, Menuju Konstitusionalitas Indonesia” Janedjri menguraikan secara gamblang bagaimana mewujudkan kesadaran berkonstitusi. Menurutnya, kesadaran berkonstitusi merupakan modal penting dalam kehidupan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Tanpa kesadaran berkonstitusi, negara ini tidak dapat mewujudkan tujuan dan cita-citanya,” terangnya.
Sebaliknya, sambung Janedjri, apabila masyarakat bisa mewujudkan kesadaran berkonstitusi, maka diharapkan bisa mewujudkan konstitusionalitas Indonesia. Maksud dari itu semua adalah negara Indonesia berlandaskan dengan koridor konstitusi sebagai hukum tertinggi atau sebagai pijakan dan aturan bagi masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, kata Janedjri, upaya mewujudkan kesadaran berkonstitusi tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga MK, melainkan tanggung jawab seluruh elemen bangsa, termasuk guru. Sebab, para guru selain berperan dalam mengakrabkan UUD 1945 kepada masyarakat, mereka juga memiliki peran sangat penting sebagai agen perubahan untuk menyebarkan budaya sadar berkonstitusi kepada anak didiknya.
Disamping itu, Janedjri dalam kesempatan tersebut juga menguraikan secara singkat sejarah terbentuk, proses beracara, hingga kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh lembaga peradilan MK. Diantarnya, dia menjelaskan kewajiban yang dimiliki oleh MK yaitu lembaga ini wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Menurut Janedjri, sebelum adanya reformasi dan terbentuknya MK, para pimpinan bangsa ini diberhentikan melalui mekanisme politik, padahal secara hukum belum tentu bersalah. “Jadi berangkat dari situ, timbul pemikiran MK harus diberi kewenangan untuk melakukan impeacment (diberhentikan),” urai Sekjen MK ini. (Shohibul Umam/mh)