Tidak hanya minim kuantitas. Produk legislasi kita juga tidak berkualitas. Benarkah demikian? Untuk menakar itu bisa diteropong lewat Mahkamah Konstitusi (MK).
Penegasan Pancasila sebagai filosofi, ideologi, jiwa, dan pandangan hidup sudah final. Akan tetapi, dalam tahap pelaksanaan masih banyak ditemukan pelanggaran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu terbukti masih banyaknya Undang-Undang (UU) yang digugat ke MK. Sejak lembaga yudikatif itu dibentuk pada 2003 hingga 2012, sudah 406 kali pengujian UU ke MK.
Dari jumlah itu, 97 di antaranya dikabulkan karena dinilai inkonstitusional. ’’Sampai pada 2012 ini sudah sekitar 400 pengaduan gugatan UU yang masuk ke MK dan sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena sebagian besar UU tersebut melanggar nilai-nilai Pancasila,’’ ungkap Ketua MK Mahfud MD kepada INDOPOS kemarin. Mahfud menerangkan, hal itu terjadi lantaran praktik korupsi saat ini tak hanya terjadi dalam bentuk proyek-proyek, melainkan juga korupsi dalam pembuatan peraturan dan kebijakan.
Apabila korupsi seperti ini terjadi, maka akan timbul kasus korupsi yang berkesinambungan. ’’Korupsi pada peraturan dan kebijakan akan memunculkan banyak korupsi karena peraturan dan kebijakan itulah sumbernya,’’ kata pakar politik hukum satu-satunya di Indonesia ini. Menurut Mahfud, ada dua kelompok besar bentuk korupsi peraturan dan kebijakan, yaitu menyangkut masalah politik dan korupsi. Beberapa UU yang pernah digugat antara lain UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemberantasan Korupsi.
’’Ada pula potensi korupsi peraturan dan kebijakan dalam hal sumber daya alam, misalnya UU Pertambangan, UU Perhutanan, dan UU Sumber Daya Alam. Pada praktiknya, UU ini membahayakan keutuhan NKRI,’’ kata Mahfud. Korupsi yang akhirnya berbentuk sebuah UU itu juga berpengaruh terhadap carut-marutnya hukum di Indonesia lantaran banyaknya produk hukum yang cacat sejak lahir.
Artinya bahwa selama ini tidak ada produk hukum yang lahir di DPR murni berdasarkan kepentingan masyarakat. ’’Produk hukum yang selama ini dibuat merupakan bentuk kristalisasi dari persaingan-persaingan politik yang ada,’’ tandas mantan anggota Komisi III DPR itu.
Bernuansa Politik
Banyaknya gugatan terhadap produk UU ke MK menjadi bukti proses pembentukan perundang-undangan itu tidak optimal. DPR sebagai lembaga yang melahirkan produk undang-undang itulah yang perlu bertanggung jawab. Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Fajrul Fallakh menegaskan gugatan UU melalui jalur MK itu memang tak bisa dihindari lagi.
Sejak berdirinya lembaga MK membuka celah terjadinya gugatan. Menurut dia persoalan pengajuan gugatan bisa dianggap fenomena kesadaran hukum yang baik. Publik menjadi lebih banyak mengerti dan memiliki peluang besar terhadap undang-undang yang diterbitkan. ’’Nah, pada sisi ini menunjukkan masyarakat punya partisipasi besar. Itu menunjukkan situasi yang baik dan positif,’’ ujar Fajrul Fallakh di kantor KHN, Jakarta, kemarin.
Kesadaran publik terhadap pendalaman produk legislasi, lanjut dia, secara langsung mendorong perlunya materi undang-undang berkualitas. Lebih memihak pada kepentingna rakyat dan bukan pada kelompok-kelompok tertentu. Lebih lanjut penyabet gelar doktor hukum Universitas Indonesia ini menegaskan, titik ketegangan dalam produk undang-undang terjadi pada pasal-pasalnya.
Pada pokok batang tubuh perundang-undangna itulah yang kerap tidak mewakili kepentingan masyarakat. ’’Tak heran persoalan itu menjadi ramai yang diajukan gugatan ke MK. Tentu ada persoalan lainnya yang juga cukup ramai,’’ imbuhnya. Secara umum, dia menyebutkan kian banyaknya gugatan undang-undang ke jalur MK disebabkan produk hukum yang dibuat lemah.
Tidak memecahkan persoalan yang memang butuh pendekatan perundang-undangan. Misalkan saja, ujar dia, banyak UU yang dibuat memiliki tendensi politik. Artinya pasal-pasal yang disusun merupakan akumulasi dari kepentingan sekelompok orang. Padahal UU itu merupakan aturan yang bersifat generalis dari sisi kepentingan. ’’Publik tentu tidak bisa terima pada perkara seperti itu.
Masa ada undang-undang yang mengabaikan kepentingan umum,’’ jelasnya. Lebih lanjut dia menambahkan penyebab lain maraknya gugatan undang-undang ke MK itu pada tafsiran pasal-pasalnya. Sering kali undang-undang tidak menggunakan istilah yang tegas dan jelas. Sehingga menimbulkan tafsiran berbeda-beda. Hal tersebut, menurut dia, tak boleh dibiarkan.
Para pembuat undang-undang harus memahami benar pokok persoalan. Menuangkan dalam istilah dan makna yang tidak multiftafsir tersebut agar masyarakat menjadi lebih mengerti. ’’Gugatan itu terjadi pula karena ada persinggungan tafsir. Masyarakat menilai dalam pandangan berbeda, sedangkan pembuat undang-undang pun berbeda pandangan,’’ tegasnya.
Menurutnya pembuat undang-undang harus belajar lebih banyak lagi dalam penggunaan istilah. Kesalahan penggunakan istilah itu bisa menimbulkan tafsiran berbeda. Meskipun tujuannya bisa saja benar. Lebih baik dia meminta undang-undang yang telah dibuat sudah bersifat operasional. Tidak lagi perlu ada penafsiran lain. Itu lebih membuat undang-undang menjadi berwibawa.
Faktor lainnya yang menyebabkan munculnya gugatan itu, Fajrul menyebutkan ada pada ego sektoral yang tinggi di DPR. Lembaga perwakilan rakyat ini merasa punya kewenangan luas terhadap produk undang-undang. Ego sektoral itu pun, tambah dia, berkembang secara meluas di tingkat internal. Antar fraksi di DPR bersinggungan dalam memahami persoalan.
Itu membuat pula lahirnya produk undang-undang lebih bersifat politis. ’’Undang-undang jadi seperti produk titipan. Kepentingan mereka lah yang lebih mendominasi. Bukan kepentingan rakyat,’’ terangnya. Ditambah lagi, kata dia, tak sedikit anggota DPR yang juga tidak memahami undang-undang yang ada. Tak heran banyak undang-undang yang terlahir menjadi persoalan baru.
Karena bersenggolan dengan undang-undang lain. Pakar tata negara UI Mustafa Fahri menilai sengketa perundang-undangan yang diajukan ke MK itu memang sudah tak bisa diingkari. Sejak adanya lembaga tersebut membuka celah bagi masyarakat menyampaikan gugatannya. Kondisi itu, menurut dia, memang menjadi bagian dari supremasi hukum dan demokrasi.
Partisipasi masyarakat terkait produk undang-undang menjadi satu bagian dan diharapkan agar tidak ada undang-undang yang justru merugikan masyarakat. Meski demikian, dia menilai sengketa di MK yang terkait pada undang-undang memang banyak penyebabnya. Mulai lemahnya DPR dan Pemerintah dalam menyusun undang-undang sampai pada materi undang-undangnya tidak lengkap.
DPR Anggap Lumrah
Banyaknya undang- undang yang diujimaterikan ke MK dinilai Anggota Badan Legislasi (Baleg DPR) Anna Muawanah sebagai hal wajar dan lumrah dalam porses demokrasi. Pasalnya sebagus apapun UU yang dibuat DPR bersama pemerintah, belum tentu bisa memuaskan semua kelompok masyarakat. ’’Saya pikir normal saja, karena MK juga kan dibentuk untuk melayani ketidakpuasan masyarakat terhadap produk undang-undang yang ada.
Kelompok masyarakakat yang merasa belum puas dengan kehadiran UU tersebut berhak melakukan gugatan,’’ ujarnya pada INDOPOS, kemarin. Namun, lanjut Anna, proses penggarapan UU DPR bersama pemerintah di parlemen, selama ini sudah melalui prosedur yang sesuai dan selalu melibatkan semua kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan UU tersebut.
’’Kita tidak main-main dalam membuat UU, karena kita juga melibatkan kalangan akademisi dan setiap undang-undang yang akan digarap harus memiliki naskah akademik yang valid,’’ tegasnya. Karena itu, menurut politisi perempuan asal Fraksi PKB ini, sangat disayangkan apabila ada kritik yang mengatakan jika DPR selama ini kurang melibatkan masyarakat dalam pembuatan UU.
’’Padahal faktanya, setiap UU yang sedang digarap DPR harus dibahas terlebih dahulu bersama kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Namun, bisa saja ada kelompok masyarakat atau asosiasi tertentu yang kepentingannya tidak sesuai UU tersebut, jadi dia menggugat,’’ bantah Anna.
Lalu bagaimana dengan anggapan yang menyatakan bahwa banyaknya UU yang diujimaterikan di MK lantaran adanya jual beli pasal di DPR? Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono mengaku tidak habis pikir dengan adanya anggapan tersebut. Dirinya membantah dengan tegas bahwa tidak ada praktik tersebut di badan kelengkapan yang dipimpinya.
’’Saya pastikan tidak ada praktik tersebut, silakan buktikan, kami terbuka,’’ ujarnya singkat. Sementara itu, pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti kepada INDOPOS menuturkan, sangat mungkin lemahnya produk UU hasil pembahasan DPR dan pemerintah karena adanya praktik jual beli pasal. ’’Karena itu, untuk mencegah hal tersebut, DPR diminta lebih transparan dalam pembahasan UU.
Harus adanya kemauan DPR untuk mengekspos pembahasan UU melalui melalui website DPR,’’ kata Ray Rangkuti, kemarin. Lebih lanjut Ray menjelaskan, dengan situs resmi DPR yang bisa diakses, diharapkan masyarakat bisa ikut memantau perkembangan dalam pembahasan UU. Menurut dia, penting bagi masyarakat tahu apakah keputusan tersebut berasal dari pendapat individu atau fraksi.
’’Tapi sayangnya kita tidak bisa melihat seperti itu,’’ lanjutnya. Ray juga mengimbau, bagi pihak-pihak yang mengetahui adanya jual beli pasal segera melapor kepada aparat penegak hukum. Jangan hanya berbicara lewat media. ’’Jadi kalau memang mengetahui adanya praktik itu jangan segan-segan melaporkan kepada aparat,’’ tutur Ray.