Pemohon Pengujian Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi (MK) mengikuti sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang Pleno, Lantai 2, Gedung MK, Jumat (31/8). Sidang kedua yang diketuai Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi ini berlangsung singkat sebab Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya hanya memaparkan poin-poin perbaikan permohonannya.
Kuasa Hukum Pemohon, Muhammad Sholeh menyampaikan poin-poin perbaikan permohonan. Ia mengatakan perbaikan terletak pada legal standing Pemohon setelah pada sidang sebelumnya panel hakim menyampaikan saran agar penjelasan tentang legal standing tidak terlalu pendek. “Soal kewenangan, kemarin ada masukan memang soal apakah ini badan hukum yang mengajukan permohonan ataukah individu. Memang, setelah kita pertimbangkan, kita musyawarahkan, lebih baik atas nama individu. Karena kalau badan hukum nanti konsekuensinya ada beberapa hal yang harus dipenuhi,” jelas Sholeh.
Selain itu, Sholeh juga mengatakan terdapat penambahan pada pokok permohonan. Para Pemohon mengaitkan sedikit pasal bahwa setiap warga negara itu berhak untuk mendapatkan pekerjaan.
Menanggapi perbaikan permohonan yang dilakukan Pemohon, Fadlil mengatakan Mahkamah menerima perbaikan permohonan yang disampaikan secara lisan maupun tertulis oleh Pemohon. Fadlil pun kemudian mengecek sekaligus mengesahkan bukti yang diajukan Pemohon, yaitu P1 sampai P5. “Oke, nanti pada saat sidang berjalan, Saudara masih diperkenankan mengajukan tambahan bukti-bukti yang Saudara pandang penting untuk diajukan,” tambah Fadlil.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Senin (14/8) Sholeh mengungkapkan hak konstitusional Pemohon dilanggar dengan berlakunya Pasal 55 UU MK yang berbunyi sebagai berikut.
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Sholeh berdalih pembentuk Pasal 55 kurang memahami asas-asas tentang materi muatan peraturan perundang-undangan. “Idealnya penghentian proses sidang di MA, terkait pasal UU yang di uji di MK, bukan terkait UU. Sebab pasal dalam undang-undang jumlahnya banyak dan belum tentu semua pasal dalam UU dijadikan dasar batu uji di MA. Pasal 55 ini tidak jelas dan sama sekali mencerminkan ketidakpastian hukum, karena tidak pernah menjelaskan sejak kapan pengujian peraturan di bawah UU harus dihentikan oleh MA, apakah sejak di daftarkan di MA atau sejak adanya pengujian UU di MK yang menjadi dasar uji materiil di MA. Pasal 55 jelas telah mengebiri kewenangan MA, memasung kewenangan MA, dan menjadikan MA tidak independen dalam menguji peraturan dibawah UU, seharusnya pembuat UU sadar dan memahami kewenangan antara MA dan MK berbeda dan tidak boleh tumpang tindih,” jelas Sholeh kala itu. (Yusti Nurul Agustin/mh)