Perseteruan yang mengemuka antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (Polri) perihal siapa yang berhak melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi Simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Kepolisian berujung diperkarakan dalam persidangan uji materi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (30/8) siang.
Dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 81/PUU-X/2012 ini, M. Farhat Abbas yang berprofesi sebagai Advokat/Pengacara, mengajukan pengujian Undang-Undang No. 30 tahun 2002, dimana norma yang diuji yaitu Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), yang didalamnya termuat tugas, kewenangan, dan kewajiban aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi.
Menurutnya, pasal-pasal yang diujikan memuat tugas, kewenangan, dan kewajiban lembaga penegak hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). “Norma yang terkandung (UU a quo) adalah norma yang sangat diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum,” terang Windu Wijaya selaku kuasa hukum Pemohon.
Hal demikian, lanjut Windu, disebabkan pasal-pasal yang tercantum dalam UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, dan mengakibatkan terjadinya “sengketa” antara KPK dan Polri terkait penyidikan dan penyelidikan kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Kepolisian. “Oleh sebab itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan (UU a quo) bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), 28D Ayat (1) UUD 1945,” tutur Windu.
Lebih dari itu, menurut Pemohon, penanganan kasus simulator SIM terkesan tumpang tindih karena diselesaikan oleh dua lembaga penegak hukum. “Jika hal ini diteruskan oleh dua lembaga, maka nantinya kasus ini akan dibawa ke dua pengadilan berbeda,” ujar Pemohon. “Kalau hasilnya berbeda jauh, tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum pula,” tambah Farhat Abbas dalam permohonannya.
Farhat mengakui, sebagai warga negara yang baik dia mematuhi hukum sepanjang pelaksanaan norma hukum yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri. Namun faktanya, akibat adanya pasal-pasal tersebut, telah membuat Pemohon dirugikan hak-hak konstitusionalnya.
Sehingga kalau permohonan ini dikabulkan, kata Farhat, maka dia tidak lagi dirugikan dengan adanyanya pasal tersebut. Oleh karenanya dalam petitum permohonan, Pemohon memohonkan agar pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penyidikan KPK Perlu Diperkuat
Pasal 50 ayat (3) UU yang diujian oleh Farhat Abbas juga diajukan dalam perkara Nomor 80/PUU-X/2012 dengan Pemohon yakni Habiburokhman, Muhamad Maulana Bungaran, dan Munathasir Mustaman, masing-masing berprofesi sebagai Advokat. Menurut mereka, kasus yang dilakukan oleh Polri dan KPK merupakan penyidikan ganda. Hal demikian jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum, dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. “Sebab, menjadi tidak jelas atas dasar penyidikan yang mana persidangan tersebut dilaksanakan,” terang para Pemohon.
Dikatakan Para Pemohon lagi, ketidakjelasan timbul akibat adanya frase “…, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.” Oleh karena itu, kata para Pemohon, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan sepanjang tidak dimaknai, “wewenang kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam UU selain UU ini dihapuskan.”
“(Seandainya penafsiran norma tersebut dilakukan oleh MK) tidak akan timbul ketidakpastian hukum, dan menjadi jelas bahwa KPK sudah melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UU No. 30/2002. Selanjutnya, wewenang penyidikan hanya ada pada KPK dan Kepolisian atau Kejaksaan tidak lagi berwenang menyidik perkara tersebut,” urai para Pemohon.
Disampaikan juga nasehat-nasehat dari seluruh Hakim Panel dalam persidangan tersebut. Salah satunya Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati selaku Ketua Panel. Menurutnya, alasan kerugian Pemohon perlu diperjelas lagi dalam permohonan. “Kalau hanya menjelaskan seperti ini (sesuai berkas permohonan), maka tidak jelas kerugian konstitusional Pemohon dihadapi dengan adanya undang-undang ini,” jelas Maria Farida. (Shohibul Umam/mh)