Pengujian formil Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kata Mahkamah, pengaturan UU 8/2012, yang diujikan secara formil oleh Pemohon sudah sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” terang Mahfud MD selaku Ketua Sidang dalam mambacakan putusan perkara Nomor 54/PUU-X/20120, Rabu (29/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Terhadap pengujian ini, Pemohon menilai UU 8/2012 secara formil dalam proses pembentukannya telah mengabaikan asas-asas dalam menampung aspirasi masyarakat. Namun, kata Mahkamah, wakil-wakil rakyat di DPR adalah pembawa aspirasi masyarakat, sehingga Mahkamah tidak menemukan adanya pengabaian sila Persatuan Indonesia dalam UU 8/2012 dan tidak menemukan pula ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disisi lain, Pemohon juga mendalilkan bahwa tradisi mengubah UU Pemilu setiap menjelang Pemilu menggambarkan ketidakpastian sistem politik dan hukum. Menyikapi hal demikian, Mahkamah mengatakan, pengubahan UU sepenuhnya adalah kewenangan pembentuk UU, dalam hal ini DPR bersama Presiden. “Sehingga setiap saat, bila dipandang perlu, pembentuk Undang-Undang dapat mengubah atau mengganti suatu Undang-Undang,” tutur Mahkamah.
Pembentukan UU 8/2012, kata Pemohon juga berpotensi menghilangkan hak konstitusional partai politik. Berkanaan dengan hal tersebut, Mahkamah mengatakan, UU a quo tidak menghilangkan hak partai politik untuk melakukan rekruitmen kader, juga tidak menghalangi partai politik untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
“Diterima atau tidak diterimanya suatu aspirasi, suatu usulan, suatu kebutuhan, hal itu tergantung dari mekanisme yang terjadi di dalam persidangan pembentukan Undang-Undang,” terang Mahkamah dalam putusannya.
Sedangkan syarat kepesertaan Pemilu yang sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif dalam UU 8/2012 yang didalilkan Pemohon, Mahkamah menilai, apabila ada suatu materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan itulah yang diuji secara materiil. Kemudian kalau hal demikian terbukti, Mahkamah akan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Disamping itu, Mahkamah juga menyikapi dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 8/2012 merusak kemajemukan dan kebhinneka tunggal ikaan. Menurut Mahkamah, Pasal 208 UU tersebut sama dengan pengujian materiil seperti yang diajukan oleh Pemohon perkara Nomor 51/PUU-X/2012 dan 52/PUU-X/2012 yang telah diputus oleh Mahkamah tanggal 29 Agustus 2012, sehingga tidak perlu dipertimbangkan.
Selanjutnya, selain bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 di atas, Pemohon dalam permohonannya juga mendalilkan bahwa UU 8/2012 bertentangan dengan BAB I Ketentuan Umum, Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menanggapi tersebut, menurut Mahkamah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945.
“Sehingga pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang semata-mata, yang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas Undang-Undang tersebut, bukan kewenangan Mahkamah,” tegas Mahkamah. (Shohibul Umam/mh)