Gelar perdana Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8/ Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal dengan KUHAP terhadap UUD 1945 - Perkara No. 78/PUU-X/2012 - berlangsung pada Rabu (29/8) siang di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon adalah Muhammad Zainal Arifin yang berprofesi sebagai advokat, mempersoalkan Pasal 195, Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) KUHAP.
Pasal 195 UU No. 8/1981 menyebutkan, “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.” Pemohon berdalih, hampir seluruh putusan banding, kasasi, dan peninjauan kembali tidak dilakukan dengan sidang terbuka umum, melainkan hanyalah sidang yang hanya dihadiri oleh hakim dan panitera. Kenyataannya, dalam akhir putusan-putusan tersebut selalu ditulis sidang terbuka untuk umum.
“Hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum perihal kekuatan putusan tersebut. Apakah dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat?” kata Pemohon mempertanyakan.
Sedangkan Pasal 197 ayat (2) UU No. 8/1981 menyebutkan, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Menurut Pemohon, pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi jaksa yang akan melakukan eksekusi, karena bisa dilaporkan dengan tindak pidana merampas kemerdekaan orang lain.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP, karena menahan seseorang atas dasar putusan batal demi hukum,” ucap Pemohon.
Selanjutnya, Pasal 199 ayat (2) UU a quo menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.” Bahwa untuk pengujian Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) UU No. 8/1981, sebagai seorang advokat, pekerjaan Pemohon selalu berhubungan dengan berbagai putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur Pasal 197 ayat (2) UU tersebut dan putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 199 ayat (2).
Oleh karena itu, jika terjadi putusan batal demi hukum yang menimpa klien Pemohon, maka Pemohon merasa galau untuk menjelaskan makna dan upaya hukum terhadap putusan batal demi hukum tersebut. Demikian menurut Pemohon.
Khusus untuk pengujian Pasal 199 ayat (2) jo Pasal 197 ayat (2) UU No. 8/1981 perihal putusan bukan pemidanaan yang batal demi hukum, disebabkan Pemohon ingin mendapatkan makna putusan batal demi hukum, sebagai dasar mengajukan upaya hukum praperadilan terhadap Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Kasus Sisminbakum yang akan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
“Penafsiran putusan batal demi hukum tersebut mempunyai nilai strategis bagi kami untuk memperkuat dalil-dalil permohonan dalam mengajukan upaya hukum praperadilan tersebut,” tegas Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)