Setelah menjalani hukuman dan dinyatakan bebas secara hukum dari Lembaga Pemasyarakatan Bandar Lampung, dua mantan narapidana (Napi), Sudirman Hidayat dan Samsul Hadi Siswoyo, menilai akan bebas dan kembali dengan layak sebagai seorang warga negara Indonesia dan berhak melaksanakan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Namun faktanya, meskipun para Pemohon telah menjalani masa hukuman pidana, mereka tetap mendapatkan bentuk penghukuman yang lain terutama hak-hak berpolitik. Berangkat dari permasalahan tersebut, para Pemohon mengujikan Pasal 3 dan penjelasan Pasal 3 UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/8), di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut merupakan perkara dengan aganda sidang pendahuluan perkara yang terigistrasi di MK dengan Nomor 79/PUU-X/2012.
Menurut para Pemohon dalam penjelasannya, Pasal a quo UU No. 12/1995 telah menghambat mereka dalam melaksanakan hak-hak berpolitik sebagaimana tercantum dalam Pasal 58 huruf (f) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur persyaratan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
“Para Pemohon tidak mengalami kebebasan penuh sebagaimana warga negara lainnya, terutama pelaksanaan hak-hak politik warga negara setelah lepas dari lembaga pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan Pasal 3 UU 12/1995,” ujar salah satu kuasa hukum para Pemohon.
Para Pemohon juga mengatakan bahwa hambatan tersebut merupakan hukuman tambahan bagi para Pemohon karena sudah mencabut hak-hak politik mereka. “Sebagai anggota masyarakat Pemohon tidak bebas dan bertanggung jawab akibat diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politiknya,” terang Pemohon.
Disisi lain, kata para Pemohon, hambatan untuk mendapatkan hak-hak politik atau hambatan mengikuti politik seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara demokrasi, dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. “Oleh sebab itu, hak untuk memilih dan dipilih menurut ajaran hukum (legal doktrin) diperlukan sebagai kewajiban positif yang dapat dilaksanakan,” urai para Pemohon.
Pasal 3 UU a quo menyebutkan, “Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.” Dan penjelasannya, “Yang dimaksud dengan ‘berintegrasi secara sehat’ adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.”
Labih lanjut para Pemohon juga mengatakan bahwa Pasal 3 UU a quo tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frase, “…, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.” Oleh karena itu, para Pemohon memohonkan supaya pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara dalam petitumnya, para Pemohon menyatakan Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frase “…, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab” ditafsir sebagai “…,sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, termasuk dipilih sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dan/atau dipilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau Desan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Daerah.”
“(Jika hal demikian dikabulkan), maka para Pemohon tidak akan mengalami kerugian konstitusional di masa datang,” terang para Pemohon dalam permohonannya. (Shohibul Umam/mh)