Dua orang saksi yang merupakan korban penggusuran dihadirkan oleh Pemohon Perkara 50/PUU-X/2012, Selasa (14/8). Kedua saksi yang dihadirkan Pemohon, yaitu Sutinah dan Usup. Dalam keterangannya, Sutinah dan Usup mengaku telah dirugikan dengan adanya penggusuran yang dilakukan pihak pemerintah provinsi (Pemprov) maupun pihak pengembang.
Perkara Pengujian UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini dimohonkan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) dkk. Pemohon menganggap penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Namun, definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam UU Pengadaan Tanah tidak secara jelas dan tegas dijelaskan.
Untuk menguatkan dalilnya, Pemohon pada sidang keempat yang digelar di ruang sidang pleno MK menghadirkan dua saksi. Keduanya, Sutinah dan Usup, mengatakan penggusuran maupun pengadaan tanah bagi suatu “proyek kepentingan umum” telah merugikan mereka secara langsung maupun tidak.
Sutinah mengungkapkan bahwa ia merupakan korban penggusuran di wilayah pesisir Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta pada 2007 lalu. Menceritakan kronologi penggusuran, Sutinah mengatakan Bupati Bantul saat itu (2006) Idham Samawi mengumpulkan warga pinggir pantai Parang Kusumo dan sekitarnya sembari memberitahukan bahwa lapak-lapak di pantai yang kumuh mau dihilangkan untuk ditata dan akan diganti los permanen. “Tapi ganti itu tidak ditepati sampai sekarang dan akhirnya rusak. Pada tahun 2007 ada 90 KK digusur. Katanya untuk megaproyek. Parangtritis mau dibikin Bali kedua. Kami bilang silakan asal warga tidak dihilangkan haknya,” jelas Sutinah.
Adanya penggusuran demi penggusuran menurut Sutinah berdampak kepada kaum perempuan di sekitar wilayah pesisir Pantai Parangtritis tersebut. Para perempuan yang tadinya berjualan di sekitar pantai dengan menjajakan dagangannya ke para turis, setelah penggusuran harus beralih pekerjaan menjadi buruh cuci hingga pemulung rongsokan. “Dampaknya ke perempuan. Ekonomi menurun, penghasilan menurun. Padahal penghasilan sehari-hari lebih berat karena tempat mencari rejeki sudah dihilangkan oleh Pemprov Bantul,” ungkap Sutinah.
Sutinah juga mengungkapkan bahwa terdapat perlakuan yang berbeda terhadap korban penggusuran yang memiliki KTP Bantul dengan yang tidak. Bagi warga yang menjadi korban penggusuran dan memiliki KTP Bantul, Pemprov Bantul menyediakan lokasi relokasi untuk tiap keluarga. Meski begitu, kios pengganti yang disediakan hanya berukuran sekitar 4x3 meter persegi yang harus ditempati sembilan sampai sepuluh anggota keluarga. Sedangkan bagi yang tidak memiliki KTP Bantul seperti Sutinah, Pemrov Bantul tidak menyediakan tempat relokasi.
Sedangkan saksi Pemohon lainnya, Usup mengungkapkan bahwa usahanya dalam mencari nafkah terganggu akibat proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru milik PT Pelindo II di pesisir laut Jakarta. Usup merupakan nelayan tradisional yang juga warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara yang sehari-hari bekerja mencari ikan di wilayah perairan sekitar Kalibaru-Marunda-Cilincing.
“Saya sangat terganggu dengan adanya proyek Pelabuhan Kalibaru milik PT Palindo II. Kami yang nelayan kapal kecil tidak bisa masuk ke sana, sampan kami harus muter ke Marunda karena di situ (Kalibaru) ada kapal-kapal besar. Kalau dulu sekali melaut bisa dapat 15 kilogram ikan sehari, sekarang Cuma dapat lima kilogram sehari,” urai Usup menceritakan kerugian yang dialaminya akibat pengerjaan proyek pelabuhan Kalibaru yang notabene merupakan proyek untuk kepentingan umum.
Usup juga mengungkapkan bahwa proyek tersebut menimbulkan pencemaran dan menumpuk sampah di wilayah pesisir Kalibaru sehingga usahanya untuk mendapatkan ikan semakin sulit. Dampak tidak langsung dialami tetangganya yang memiliki anak yang sedang bersekolah. Karena penghasilan menurun, anak tetangga Usup tersebut harus dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu membiayai sekolah lagi.
Baik Sutinah dan Usup mengatakan mereka bukan “orang baru” di daerah tempat tinggal mereka yang terkena penggusuran. Meskipun Sutinah tidak memiliki KTP Bantul, ia sudah tinggal di sana selama 12 tahun. Sedangkan Usup mengaku sejak kecil ia tinggal di kawasan kalibaru, Cilincing dan memiliki KTP setempat. (Yusti Nurul Agustin/mh)