Setiap pemimpin harus seorang negarawan yang tidak mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya dan hanya bekerja untuk tujuan jangka pendek. Mahfud menyampaikan hal tersebut pada kesempatan Dialog Ilmiah ”Reaktualisasi Konsepsi Negarawan dalam Kepemimpinan Nasional”, di Universitas Brawijaya Malang. Dalam paparannya, Mahfud menilai, saat ini Indonesia membutuhkan para pemimpin yang tidak memikirkan hal-hal yang bersifat pendek namun jauh kedepan, yang tidak hanya mengamankan posisi politiknya.
”Indonesia dewasa ini sedang mengalami ancaman luar biasa yakni disorientasi kepemimpinan, distrust atau ketidakpercayaan dari masayarakat, disobedience atau ketidaktaatan dari rakyat, yang pada gilirannya akan memunculkan ancaman disintegrasi bangsa,” ingat Mahfud. Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini mengkhawatirkan jika gejala obedience terus dibiarkan, dapat memecah belah Indonesia menjadi negara-negara kecil, seperti yang terjadi di Yugoslavia. Ia menyebut, di masa lampau Indonesia memiliki banyak tokoh-tokoh besar yang bersifat negarawan, seperti Bung Karno, Natsir, dan Wahid Hasyim yang tidak mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, melainkan selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Mahfud menyayangkan banyak pemimpin yang tidak mengedepankan sifat-sifat negarawan, tersebut dengan bertindak tidak tegas. Krisis kepemimpinan saat ini dipicu oleh buruknya sistem rekruitmen yang ada. Ia mengistilahkan, sistem rekruitmen berjalan melalui proses “rebutan” dan bukan “ kompetisi”. Sistem kompetisi mendorong lahirnya persaingan secara sehat, namun pada sistem “rebutan”, banyak menimbulkan permasalahan. Ia mencontohkan, dari 460 kepala daerah tingkat II, kabupaten /kota, dan 33 gubernur di seluruh Indonesia, sebanyak 240 lebih kepala daerah bermasalah dengan hukum. Hal ini jelas mengindikasikan buruknya sistem rekruitmen melalui proses “rebutan” yang penuh dengan muatan politis dan miskin kepedulian pada masyarakat.
Mahfud menyakini, untuk menghasilkan pemimpin negarawan yang amanah, hal penting yang harus dilakukan adalah dengan membenahi buruknya sistem rekruitmen yang saat ini marak terjadi, yang melahirkan sistem transaksional, dimana orang saling sandera dan dipenuhi intrik politik. Hal ini jelas menyulitkan proses terbentuknya pemerintahan yang bersih dan sehat.
Jelang akhir pengantarnya, Mahfud mengajak semua pihak untuk ikut bersama-sama memikirkan bagaimana menciptakan sistem rekruitmen yang sehat, yang dapat menghasilkan pemimpin yang berkarakter dan amanah. Ia menyebutkan, ”Indonesia masih memiliki banyak tokoh yang tergolong bersih dan jujur, seperti para pemimpin pondok pesantren yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai ke-Indonesiaan, namun sangat disayangkan, para tokoh tersebut hanya bergerak di jalur informal dan tidak diberi kesempatan dan ruang pada tataran etalase kepemimpinan nasional.” Mantan Menteri Pertahanan di era Gus Dur ini berharap dengan dialog ilmiah kali ini dapat memberikan pencerahan, masukan dan sumbang saran pada berbagai kalangan, bagaimana melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan dan ketauladanan. (Agung/Hanna/mh)