Permohonan artis dan penyanyi dangdut Saipul Jamil ihwal Pengujian Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk seluruhnya. “Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” jelas Ketua MK Moh. Mahfud MD yang bertindak sebagai ketua sidang, saat membacakan putusan Nomor 57/PUU-X/2012, di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (13/8) siang.
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah dalam putusannya perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu undang-undang. “Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat (kepada lembaga terkait)” tutur Mahkamah.
Sementara permasalahan hukum dan permohonan tersebut yang diujikan oleh Pemohon dinilai sudah cukup jelas, maka Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. “Sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo,” jelas Mahkamah.
Selanjutnya, setelah memeriksa dengan seksama permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon didakwa dengan Pasal 310 UU 22/2009 oleh Kejaksaan Negeri Purwakarta karena kecelakaan lalu lintas pada ruas Jalan Tol Cipularang KM. 96.400 yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat itu. Dalam kecelakaan lalu lintas tersebut istri Pemohon yang bernama Virginia Anggraini meninggal dunia.
Namun, frasa “kelalaiannya” dalam Pasal 310 UU 22/2009, menurut Saipul Jamil selaku Pemohon, dapat mengakibatkan penafsiran hukum yang luas yang dilakukan oleh Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan para saksi ahli secara subyektif di pengadilan. Sehingga hal demikian, menurut Pemohon, dapat merugikannya karena tidak ada kepastian hukum mengenai pengertian frasa “kelalaiannya” tersebut.
Pemohon juga mengajukan permohonan agar frasa “orang lain” dalam pasal a quo diberi penafsiran “tidak termasuk suami atau istri atau anggota keluarga yang sama-sama menjadi korban dalam suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas.
Melihat dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 310 UU 22/2009 merupakan pasal yang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia (WNI). “Oleh karena itu, pasal a quo justru memberikan jaminan dan perlindungan bagi siapapun yang menjadi korban kelalaian seseorang, termasuk suami, istri, anak, ataupun anggota keluarga,” terang Mahkamah dalam putusannya.
Sedangkan ketentuan yang dimaksud dengan orang lain adalah orang yang bukan dirinya sendiri. Adapun mengenai konsep bahwa istri, suami, atau anggota keluarga yang lain adalah satu kesatuan keluarga yang bukan orang lain. “Hal demikian berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, adalah tidak relevan untuk dipertentangkan dengan pasal a quo,” kata Mahkamah.
Terkait dengan hak konstitusional yang dirujuk dari Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah, tidak melarang negara melalui undang-undang menjatuhkan pidana terhadap orang yang nyata-nyata lalai. “Dengan demikian adanya ancaman pidana terhadap orang yang lalai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 UU 22/2009 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” tulis Mahkamah. “Permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” tambah Mahkamah. (Shohibul Umam/mh)