Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945 memasuki sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan, Senin (13/8). Sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 69/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh seorang terdakwa kasus eksploitasi hutan, Parlin Riduansyah.
Kuasa Hukum Pemohon, Yusril Ihza Mahendra dalam sidang pendahuluan, Jumat (27/7) lalu menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan dalam pasal itu dapat dimaknai secara berbeda atau multitafsir, yakni antara aparat penegak hukum dengan terdakwa atau terpidana.
Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat: ... k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”
Sedangkan ayat (2) berbunyi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Parlin merupakan seorang terpidana dengan vonis hukuman dua tahun penjara di tingkat kasasi. Namun, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung tidak dicantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan sesuai ketentuan tersebut. Untuk diketahui, di tingkat pengadilan negeri, Parlin divonis bebas.
Menurut Yusril semestinya bila merujuk pada ayat (2) pasal a quo, jika salah satu ketentuan dalam ayat (1) tidak termuat dalam putusan maka putusan pengadilan di tingkat apapun dinyatakan batal demi hukum. “Sehingga harus dianggap tidak pernah ada. Oleh karenanya tidak dapat dieksekusi,” ujar Yusril kala itu.
Dan dalam sidang kedua hari ini, Yusril memaparkan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan permohonan dengan menghilangkan keseluruhan aspek-aspek pengujian formil menjadi pengujian materiil Pasal 197 KUHAP terhadap UUD 1945.
Yusril juga mengatakan bahwa untuk memperjelas legal standing Pemohon, pihaknya menekankan pada kasus yang konkrit, nyata, aktual, dan dilengkapi dengan alat-alat bukti. “Konkritnya seperti kami kemukakan tadi bahwa Pemohon Prinsipal dalam perkara ini sudah dieksekusi paksa oleh jaksa,” papar Yusril.
Setelah tiga kali dilayangkan surat panggilan, lanjut Yusril, Prinsipal Pemohon tetap tidak mau hadir karena beralasan panggilan jaksa itu tidak mempunyai dasar hukum karena putusan yang mau dieksekusi adalah putusan yang batal demi hukum. “Jaksa sudah meminta bantuan polisi, tapi kami kemudian sudah melaporkan jaksa kepada polisi karena memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum adalah melanggar Pasal 333 KUHP yaitu dengan sengaja merampas kemerdekaan sesorang dan meneruskan perampasan itu dan sudah ada langkah-langkah dari kepolisian untuk memeriksa dan untuk memanggil jaksa karena melaksanakan memaksakan putusan eksekusi terhadap putusan batal demi hukum itu. Pemohon Prinsipal kemudian ditangkap dan dibawa paksa oleh jaksa dari Malang ke Banjarmasin dan diserahkan kepada lembaga permasyarakatan, tapi kepala lembaga permasyarakatan bingung mau diapakan orang ini? Diterima untuk dieksekusi sebagai narapidana, lembaga permasyarakatan menyadari bahwa putusannya batal demi hukum dan sampai hari ini Pemohon Prinsipal di tempatkan di ruang adminstrasi kepala lembaga permasyarakatan, tidak dimasukkan ke dalam sel sebagai narapidana,” jelas Yusril. (Yusti Nurul Agustin/mh)