Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik juncto UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) kembali dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan tersebut digelar MK pada Kamis (9/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 72/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK).
Dalam sidang yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki tersebut, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Arifsyah Matondang, mengujikan Pasal 12 UU Parpol dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301, Pasal 352 UU MD3 yang dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon. Berdasarkan AD/ART Partai dapat dilihat bahwa keberadaan fraksi-fraksi pada MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah bagian struktur kepengurusan partai politik, diangkat, dipilih, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada partai politiknya dan fraksi juga merupakan kepanjangan tangan dari partai politik yang membentuknya atau bukan merupakan bagian atau bagan/alat perlengkapan dari MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, lanjut Arifsyah, keberadaan Fraks-fraksi baik di MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang merupakan bagian struktur kepengurusan partai politik ternyata dibiayai oleh APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, sehingga penggunaan uang negara bukan untuk kegiatan lembaga negara tetapi untuk kegiatan partai politik dan hal tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara.
“Fraksi-fraksi di MPR, DPR, DPD Prov/Kab/Kota bertentangan dengan 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3) Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), Pasal 37 ayat (1) UUD 1945. Adanya fraksi mencegah pemborosan keuangan negara Rp 27 Triliun,” ujar Arifsyah.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman memberikan saran dan masukan perbaikan permohonan kepada Pemohon. “Harus dijelaskan kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal tersebut. Pemohon juga harus jelaskan secara rinci dan hubungan sebab akibatnya antara keberlakuan pasal a quo dengan kerugian konstitusional Pemohon,” jelas Sodiki.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu kepada Pemohon selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Sidang berikutnya beragendakan pemeriksaan perbaikan. (Lulu Anjarsari/mh)