Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan mengenai aturan rangkap jabatan anggota DPR dalam Badan Kehormatan Dewan. Amar putusan dengan Nomor 59/PUU-IX/2011 ini diucapkan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD pada Selasa (8/8) di Ruang Sidang Pleno. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan putusan permohonan yang diajukan oleh Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah tersebut. Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, dijelaskan bahwa komposisi anggota Badan Kehormatan Dewan yang hanya diisi dari internal Dewan tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Badan Kehormatan itu menjadi tidak independen dengan alasan mereka akan saling melindungi dan menutupi kesalahan temannya yang diadili. Menurut Mahkamah, walaupun anggota Badan Kehormatan Dewan hanya berasal dari internal, tetapi komposisi keanggotaan yang berasal dari utusan atau perwakilan dari berbagai fraksi dan representasi kekuatan politik yang berbeda memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda pula, sehingga akan terjadi saling kontrol antar-kekuatan politik yang ada. Sepanjang proses pengawasan dan penyelesaian dilakukan secara objektif dan transparan terhadap setiap laporan yang diterima, independensi Badan Kehormatan dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah, lanjut Anwar, hal paling pokok adalah transparansi penyelesaian setiap laporan atas perilaku anggota Dewan yang masuk pada Badan Kehormatan Dewan. “Di samping itu dengan sistem Pemilu lima tahun sekali, proses pengawasan terhadap anggota Dewan terjadi secara alamiah, yang apabila seorang anggota Dewan berperilaku jelek dan memiliki rekam jejak buruk dalam masa jabatannya, maka yang bersangkutan seharusnya tidak dicalonkan dan/atau tidak dipilih kembali. Dalam kenyataannya sejak adanya Badan Kehormatan, khususnya Badan Kehormatan DPR, banyak anggota DPR yang dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan yang hanya diisi oleh internal Anggota Dewan yang sanksinya sampai pada pemberhentian sebagai anggota Dewan. Selain itu, pembentukan Badan Kehormatan dan keanggotaannya merupakan pilihan politik hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang. Artinya, pembentuk Undang-Undang dapat memilih memasukkan atau tidak memasukkan unsur masyarakat ke dalamnya. Apa pun pilihannya adalah konstitusional. Oleh karena itu, sebagai pilihan politik hukum terbuka, maka Mahkamah tidak berwenang menyatakan isi suatu Undang-Undang itu inkonstitusional sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945,” urai Anwar. Selanjutnya Anwar memaparkan dalil para Pemohon mengenai rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 ayat (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2) UU 27/2009, Mahkamah berpendapat, larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 ayat (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2) UU 27/2009 sudah tepat dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Larangan yang terlalu luas tanpa batas terhadap anggota Dewan justru dapat menimbulkan pengaturan berlebihan dan tidak proporsional. Pelanggaran-pelanggaran etik dan perilaku yang dilakukan oleh anggota Dewan atas kedua prinsip tersebut dapat dilakukan secara terus menerus oleh Badan Kehormatan Dewan melalui laporan masyarakat. “Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 208 ayat (2), Pasal 234 ayat (1) huruf f, Pasal 245 ayat (1), Pasal 277 ayat (2), Pasal 302 ayat (1) huruf f, Pasal 327 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf f, dan Pasal 378 ayat (2) UU 27/2009 tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan hukum. Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” paparnya. (Lulu Anjarsari/mh)