Permohonan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono terkait sengketa kewenangan lembaga negara dengan DPR dan BPK mengenai pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan dengan Nomor 2/SKLN-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Selasa (31/7).
“Permohonan Pemohon terhadap Termohon II (BPK) tidak dapat diterima. Permohonan Pemohon terhadap Termohon I (DPR) ditolak untuk seluruhnya,” ucap Mahfud di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah, Mahkamah menilai pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, yang harus tunduk pada konstitusi, undang-undang, dan/atau tidak melampaui kewenangan lembaga negara yang lain, yang juga diberikan oleh konstitusi. Dalam perkara tersebut, Pemohon bermaksud melakukan pembelian 7% saham PT. Newmont Nusa Tenggara dalam bentuk investasi jangka panjang non-permanen dengan menggunakan anggaran negara yang bersumber dari mata anggaran Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Menurut Mahkamah dana pembelian 7% saham PT. Newmont Nusa Tenggara harus telah termuat sebagai rencana PIP yang telah dibicarakan dan disetujui dalam pembahasan RAPBN.
“Mahkamah dapat memahami maksud Presiden melakukan pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu dalam rangka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi, memperhatikan maksud dan bentuk pembelian 7% saham PT. Newmont Nusa Tenggara tersebut adalah investasi jangka panjang non-permanen, menurut Mahkamah, pembelian saham tersebut oleh Pemohon, tidak dengan maksud dalam rangka penguasaan dan kepemilikan yang permanen, sehingga maksud penguasaan negara menjadi tidak tercapai. Apalagi yang hendak dimiliki oleh Pemerintah hanya 7% saham yang tidak signifikan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan manajemen perusahaan. Jika negara bermaksud sepenuhnya mengontrol pengelolaan sumber daya alam sebagai bentuk penguasaan oleh negara, maka Pemohon dan Termohon I harus membuat kebijakan bersama agar semua usaha yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dimiliki oleh negara secara mayoritas,” jelas hakim konstitusi.
Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara tidak hanya dalam bentuk kepemilikan, tetapi juga dapat dilakukan dalam bentuk kebijakan dan tindakan kepengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Hal yang paling pokok dalam penguasaan oleh negara adalah negara tetap memiliki kedaulatan atas bumi dan air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Adapun maksud pemerintah sebagaimana diuraikan pada dalil permohonannya, tetaplah dapat dilakukan oleh negara berdasarkan prinsip penguasaan negara yang ditentukan konstitusi. “Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara adalah kewenangan konstitusional Pemohon dalam menjalankan pemerintahan negara yang hanya dapat dilakukan dengan: (i) persetujuan Termohon I baik melalui mekanisme UU APBN atau persetujuan secara spesifik; (ii) dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan (iii) dilaksanakan di bawah pengawasan Termohon I. Oleh karena dana pembelian 7% saham PT. Newmont Nusa Tenggara belum secara spesifik dimuat dalam APBN dan juga belum mendapat persetujuan secara spesifik dari DPR, maka permohonan Pemohon tidak beralasan hukum,” urainya.
Empat Hakim Konstitusi Ajukan Dissenting Opinion
Dalam putusan tersebut, empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Wakil Ketua MK Achamd Sodiki, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi serta Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Harjono. Sodiki berpendapat seharusnya MK mengabulkan permohonan Pemohon. Menurut Sodiki, dalam memeriksa perkara tersebut seharusnya dihindari cara pendekatan tekstual dari bunyi undang-undang yang secara kaku (rigid) tidak dapat mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Penafsiran dinamis tersebut, lanjut Sodiki, maka yang menjadi rujukan utama adalah contemporary ideals (ide-ide kontemporer) yakni penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan untuk merespon/menjawab the needs atau kebutuhan masyarakat masa kini pada saat suatu undang-undang itu diterapkan -bukan merujuk pada kehendak legislatif yang dirunut pada saat undang-undang tersebut dibentuk, yaitu untuk mempergunakan aset bangsa tersebut untuk sebesar besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara].
“Jika mengikuti pendekatan demikian maka seharusnya persoalan persetujuan Termohon I bukan merupakan persoalan besar, dan dapat dirundingkan kembali demi tegaknya kedaulatan kita atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jika demikian halnya, dalam perkara ini tidak ada pihak yang menjadi the winner dan the looser karena yang harus menjadi pemenang sejati adalah bangsa ini yang menikmati kedaulatannya atas sumber daya alam sesuai amanat konstitusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan ini,” jelas Sodiki.
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil SUmadi juga mengungkapkan seharusnya MK mengabulkan permohonan Pemohon. Fadlil menuturkan pembelian 7% saham divestasi PT. NNT dalam perspektif pengelolaan keuangan negara merupakan pembelanjaan keuangan negara oleh Pemohon sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusional dalam menjalankan pemerintahan negara yang harus dilaksanakan, (i) dengan persetujuan bersama dengan Termohon I melalui mekanisme UU APBN, (ii) secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dan (iii) di bawah pengawasan Termohon I. Manakala dalam keadaan tertentu Pemohon memerlukan dana untuk suatu investasi sebagai tindakan penyelamatan perekonomian negara, sedangkan dana tersebut tidak termuat dalam UU APBN, diperlukan ijin atau persetujuan Termohon I sesuai dengan fungsinya dalam bidang anggaran. Hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan Termohon I yang “menghalang-halangi atau mengurangi pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden”.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, terkait sengketa konstitusional a quo, menurut pendapat saya, Mahkamah harus menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu bahwa Pemohon tidak memerlukan persetujuan Termohon I lagi dalam menggunakan anggaran yang telah ditentukan dalam UU APBN untuk pembelian saham divestasi PT. NNT, dan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya, yaitu bahwa Pemohon memerlukan persetujuan Termohon I dalam menggunakan keuangan negara yang belum atau tidak ditentukan dalam UU APBN untuk pembelian saham divestasi PT. NNT dimaksud,” terangnya.
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Harjono berpendapat negara mempunyai kewajiban konstitusional untuk mendapatkan bagian saham PT. NNT berdasarkan Pasal 24 Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. NNT sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk promosi kepentingan nasional. Bahwa karena Negara wajib untuk mendapatkan bagian tersebut, Pemohon bersama Termohon I wajib untuk menyediakan dana yang diperlukan dalam pengambilan bagian saham PT. NNT. Bahwa Pemohon selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara dapat mengalokasikan dana yang diperlukan tersebut dari sumber keuangan negara yang sah, dan apabila belum tersedia anggarannya, Pemohon dapat menggunakan kewenangan berdasarkan Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara yang kemudian disahkan Termohon I.
“Dengan demikian, seharusnya Mahkamah dalam amarnya menyatakan, ‘Pemohon selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara berwenang melakukan pembayaran untuk mendapatkan bagian saham PT. Newmont Nusa Tenggara dari sumber keuangan negara yang sah dan menggunakan kekuasaan berdasarkan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tanpa persetujuan Termohon I untuk kemudian disahkan oleh Termohon I, karena negara wajib untuk mendapat bagian saham PT. Newmont Nusa Tenggara sesuai dengan tujuan Pasal 24 Kontrak Karya yaitu promosi kepentingan nasional’,” papar Maria. (Lulu Anjarsari/mh)