Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No. 51/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), UU No. 50/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 49/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, yang dimohonkan oleh Hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (31/7) siang.
Mahkamah berpendapat bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49/2009 merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari UU kepada peraturan perundang-undangan. Tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan yang didelegasikan dan kepada siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan.
Berdasarkan UU No. 12/2011, terdapat berbagai jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya, yaitu UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49/2009 mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang-undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas.
Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Mahkamah menilai, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan pada praktiknya menyebabkan terjadinya beraneka ragam peraturan perundang-undangan yang mengatur gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya bagi para hakim dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan umum.
Bahwa dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49/2009, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49/2009 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon supaya Mahkamah “Menetapkan agar pengalokasian dana pemenuhan hak-hak hakim sebagai pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman dipenuhi dalam APBNP 2012 yang sedang berjalan, terhitung sejak putusan mahkamah konstitusi selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Hal demikian bukanlah kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya.
Mahkamah berpendapat, berdasarkan uraian tersebut di atas, dalil-dalil Pemohon beralasan sebagian menurut hukum. “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 25 ayat (6) UU No. 51/ 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50/2009 dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49/2009 sepanjang frasa ‘diatur dengan peraturan perundang-undangan’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘diatur dengan Peraturan Pemerintah’,” demikian dibacakan Ketua Pleno Mahfud MD didampingi para hakim konstitusi lainnya terhadap Perkara No. 37/PUU-X/2012 itu. (Nano Tresna Arfana/mh)