Sidang perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur Papua kembali dilanjutkan untuk kelima kalinya, Senin (30/7). Ahli Termohon J. Kristiadi dalam kesempatan ini memberikan keterangan sesuai keahliannya.
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi hadir dalam sidang kali ini untuk memberikan keterangan selaku ahli dari Termohon. Memulai penjelasannya, Kristiadi mengatakan sudah lebih dari empat puluh tahun rakyat Provinsi Irian Barat yang sekarang menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat tidak putus dirundung malang. Berbagai penderitaan yang bersumber kepada pelanggaran hak-hak asasi manusia, ketidakadilan dan korupsi yang merajalela, serta segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh unsur-unsur pejabat pemerintah daerah di Provinsi Papua telah mengakibatkan rakyat Papua mempunyai luka yang sangat mendalam.
Kristiadi mengatakan kehadiran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) telah menjadi obat bagi luka rakyat Papua. UU Otsus Papua itu menjadi fenomenal karena telah menghasilkan konsensus politik yang telah berhasil menghadirkan roh kebangsaan dan rasa saling percaya di antara masyarakat Papua dengan “Jakarta”. “Meskipun tidak semua tuntutan rakyat Papua terakomodasi dalam formulasi UU 21 Tahun 2001, tetapi sejumlah hak-hak khusus yang dituangkan dalam UU tersebut nampaknya sudah merupakan kesepakatan maksimum yang secara realistis dapat dicapai saat itu. Oleh sebab itu banyak kalangan menilai bahwa berbagai permasalahan mendasar secara gradual akan dapat diselesaikan bilamana UU No 21 Tahun 2001 dilaksanakan sebagaimana semangat yang mengawali UU tersebut disusun,” papar Kristiadi.
Kristiadi juga sempat membahas panjang-lebar mengenai sejarah terbentuknya UU Otsus Papua itu. Namun, dapat disimpulkan bahwa setelah melalui proses negosiasi dan perdebatan yang alot, kewenangan khusus bagi Provinsi Papua diatur dalam UU Otsus Papua tersebut. Menurut Kristiadi kewenangan Provinsi Papua yang berkaitan dengan perkara ini, antara lain rakyat Papua mempunyai kewenangan dalam melakukan rekruitmen politik dengan memberikan prioritas kepada masyarakat asli Papua serta harus meminta pertimbangan MRP (Pasal 28) serta DPRP memproduksi Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) dan Perdasus (Peraturan Dareah Khusus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.
Dalam konteks SKLN, lanjut Kristiadi, diharapkan keruwetan impelementasi Otsus di Papua, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada dapat terselesaikan. “Masa jabatan gubernur sudah berakhir pada Juli 2011, berarti Pilkada sudah tertunda lebih dari satu tahun. Mungkin, sebagai kompromi politik dan sekaligus jalan keluar agar proses pilkada yang telah berlangsung sampai pada tahap pendaftaran, serta sudah menjaring beberapa pasangan kandidat melalui DPRP sebaiknya dianggap sebagai fakta politik. Hal tersebut juga diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam proses tersebut tidak terdapat protes dari masyatakat yang menimbulkan keributan,” saran Kristiadi.
Namun Kristiadi juga tidak menutup kemungkinan bagi KPU untuk berperan dalam “menjaring” kandidat Gubernur dan Wagub Papua. “KPU Provinsi Papua juga dapat membuka kesempatan bagi mereka yang masih ingin mendaftar sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Tetapi, kesempatan ini diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, misalnya semingu atau sepuluh hari. Sedangkan untuk Pilkada selanjutnya selanjutnya harus diklakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” sarannya lagi. (Yusti Nurul A,/mh)