JAKARTA– Disepakatinya rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang kesejahteraan hakim tidak membuat para pengadil berpuas diri. Langkah selanjutnya sudah dipersiapkan, yakni mendesak pemerintah agar segera meneken draf tersebut.
Caranya, dengan ramai-ramai ’’menyerbu’’ Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa lusa (31/7) saat sidang judicial review dilakukan. Para hakim memilih tanggal tersebut karena saat itu akan dilakukan pembacaan putusan atas judicial review undang-undang yang membahas masalah kesejahteraan hakim.
UU yang dimaksud itu adalah pasal 24 ayat 6 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 25 ayat 6 UU No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan pasal 25 ayat 6 UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
Seluruh UU yang diuji materi tersebut terkait kesejahteraan hakim. Baik tentang gaji pokok, tunjangan, hak-hak lain, maupun jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan. ’’Kami berharap, para YM (yang mulia, sebutan hakim, Red) hadir dalam pembacaan itu,’’ ujar Sunoto, inisiator gerakan hakim.
Dalam pemberitahuan yang diterima koran ini, Sunoto mengajak para hakim untuk datang di MK pukul 10.00. Tepat saat hakim MK membacakan putusan sidang judicial review. Tujuannya jelas, memberikan perhatian kepada presiden agar segera mengesahkan RPP hak konstitusional hakim. Termasuk untuk menguatkan solidaritas, kekompakan serta keseriusan mengawal perjuangan hakim.
Pesan berantai tersebut telah tersebar luas karena tiap penerima diharapkan menyebar pemberitahuan ke hakim lain minimal lima orang. ’’Info resmi, selain menghubungi saya, bisa lihat di grup Facebook aksi hakim,’’ imbuhnya.
Secara terpisah, Hakim MA Djoko Sarwoko berharap agar disepakatinya kenaikan gaji bakal berbanding lurus dengan perilaku hakim. Jadi, tidak ada lagi hakim yang menyalahgunakan jabatan untuk mendapat uang. Sebab, MA sudah menyiapkan sanksi berat kalau itu sampai terjadi. ’’Gajinya sudah besar, jangan ada yang minta suap atau uang lagi,’’ harapnya.
Selain itu, dia menginginkan para hakim bisa memperbaiki citra para pengadil. Nanti hakim penerima suap tidak cukup hanya diberi sanksi mutasi, tapi bisa juga diberhentikan dengan tidak hormat.
Meski demikian, dia menggarisbawahi bahwa hakim nakal bukan hanya karena persoalan ekonomi, tapi bisa juga lantaran faktor integritas. Jadi, mereka dengan mudah menerima suap dari pihak beperkara. Hakim yang seperti itu, menurut Djoko, tidak layak bersidang. ’’Mereka bisa lolos menjadi hakim karena nasib baik dan buruknya proses seleksi,’’ katanya.