Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Pemohon dalam perkara No. 69/PUU-X/2012 perihal pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan dalam pasal itu dapat dimaknai secara berbeda atau multitafsir, yakni antara aparat penegak hukum dengan terdakwa atau terpidana.
Demikian hal tersebut dinyatakan oleh Yusril dalam Sidang Pendahuluan, Jum’at (27/7) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan ini diajukan oleh Parlin Riduansyah yang saat sidang berlangsung, menurut Yusril, telah ditangkap secara paksa dan ditahan di LP Banjarmasin.
Adapun Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat: ... k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.” Sedangkan ayat (2) mengungkapkan, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Menurut Yusril, Parlin Riduansyah merupakan seorang terpidana dengan vonis hukuman 2 tahun penjara ditingkat kasasi. Namun, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung itu, kata dia, tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan sesuai ketentuan tersebut. Untuk diketahui, di tingkat Pengadilan Negeri, Parlin divonis bebas.
Semestinya, lanjut Yusril, jika merujuk pada ayat (2)-nya, jika salah satu ketentuan dalam ayat (1) tidak termuat dalam putusan, maka putusan pengadilan ditingkat apapun dinyatakan batal demi hukum. “Sehingga harus dianggap tidak pernah ada,” tegas Yusril. “Oleh karenannya, tidak dapat dieksekusi.”
“Negara harus rela dan berjiwa besar mengakui kesalahannya dan tidak mencari-cari alasan dengan cara melawan undang-undang,” sambungnya.
Jika putusan pengadilan yang telah batal demi hukum tetap dieksekusi, dengan alasan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh jaksa, akibatnya ujar dia, akan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, jaksa menggunakan Pasal 270 KUHAP sebagai alasan pelaksanaan putusan pengadilan.
“Dalam praktik, terdakwa atau terpidana sering tidak berdaya menghadapi aparatur penegak hukum yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang semata-mata atas dasar kekuasaan,” papar Yusril.
Oleh karena itu, karena adanya dua pandangan yang berbeda terhadap penerapan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut, maka Pemohon melakukan uji materiil. Sebelumnya, dalam permohonannya Pemohon bahkan melakukan uji formil terhadap KUHAP, namun niat ini diurungkan. “Aspek-aspek pengujian formil kami tarik kembali. Kami hilangkan,” imbuhnya tanpa menyebutkan alasannya.
Akhirnya, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memberikan kejelasan hukum atau tafsir terhadap Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Karena, kata Yusril, KUHAP semestinya menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara. “Menjamin kepastian seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang menjadi haknya dan menjamin due process of law yang adil dan benar,” ungkapnya.
Setelah mendengar paparan Pemohon, Panel Sidang yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi tersebut pun kemudian memberikan beberapa saran dan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Dodi/mh)