Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan dengan Nomor 13/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Rabu (25/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Mahfud membacakan putusan permohonan yang diajukan oleh Bgd. Syafri, Lavaza Basyaruddin, Yuliana alias Nonly Yuliana, dan Asep Anwar tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Pemohon menganggap dirugikan oleh berlakunya Pasal 7 ayat (4) UU 22/2011, karena ketentuan tersebut telah menyebabkan para Pemohon sebagai pengguna mobil pribadi berplat hitam dipaksakan untuk membeli bahan bakar minyak jenis pertamax. Selain itu, menurut para Pemohon, pasal dalam Undang-Undang tersebut akan mematikan pertamina karena bahan bakar minyak pertamina lebih mahal daripada bahan bakar minyak dari negara asing, sehingga pemilik kendaraan akan beralih pada bahan bakar minyak asing.
Menurut Mahkamah, lanjut Sodiki, Pasal 7 ayat (4) UU 22/2011 tidak mengatur mengenai pembatasan bahan bakar minyak, namun pasal tersebut mengatur mengenai pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas [LPG]) tabung 3 kilogram dalam Tahun Anggaran 2012 dilakukan melalui pengalokasian BBM bersubsidi secara lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Selain itu, Sodiki menambahkan adapun pembatasan BBM bersubsidi jenis premium untuk kendaraan roda empat sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) butir 1 UU 22/2011, namun penjelasan pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi karena telah dihapus, sesuai dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah dan DPR yang pada pokoknya menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) butir 1 UU 22/2011 yang menyatakan, “Pengalokasian BBM bersubsidi secara tepat sasaran dilakukan melalui pembatasan konsumsi BBM jenis premium untuk kendaraan roda empat pribadi pada wilayah Jawa Bali sejak 1 April 2012” telah dihapus. Meskipun para Pemohon tidak secara tegas mengajukan permohonan pengujian Penjelasan Pasal 7 ayat (4) butir 1 UU 22/2011, namun menurut Mahkamah subtansi penjelasan pasal tersebut merupakan satu kesatuan norma yang tidak terlepas dari Pasal 7 ayat (4) UU 22/2011.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah telah tidak terdapat lagi norma yang menjadi objek pengujian konstitusionalitas dalam permohonan para Pemohon a quo. Menimbang berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon karena objeknya sudah tidak ada,” ujar Sodiki.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon. “Tidak terdapat lagi norma yang menjadi objek permohonan pengujian konstitusionalitas yang dimaksudkan dari Undang-Undang a quo. Kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)