JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, meski Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) tengah direvisi dan dalam pembahasan di DPR, hal itu bukan suatu masalah bagi mereka untuk menyidangkan perkara tersebut.
Diketahui, awal Februari 2012, pemerintah telah menyerahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) yang merupakan revisi dari UU No. 32/2004 kepada DPR. Ketiganya adalah RUU Pemda, RUU Pilkada, dan RUU Desa.
Ketiga RUU tersebut kini sedang dibahas bersama DPR dan ditargetkan selesai paling lambat akhir tahun ini sehingga bisa diterapkan di tahun 2013.
Juru Bicara MK Akil Mochtar mengatakan, sebelum adanya UU yang baru hasil dari revisi, MK bisa menguji suatu aturan hukum yang telah disahkan/diundangkan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).
’’Bisa diuji meski undang-undangnya sedang direvisi. Kan undang-undang baru belum ada, jadi tidak ada masalah,’’ kata Akil kepada Radar Lampung di Jakarta kemarin (24/7).
Sayangnya, Akil yang juga hakim konstitusi itu tidak mau berkomentar terkait uji pasal 30 UU 32/2004 tentang Pemda yang mengatur pemberhentian kepala daerah, termasuk celah lain yang membuat UU Pemda seakan-akan melindungi koruptor.
Ditegaskannya, sembilan hakim konstitusi dilarang keras mengeluarkan komentar terhadap semua perkara, baik pengujian undang-undang (judicial review) maupun perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang masuk dan akan disidangkan.
Alasannya, itu sudah menjadi aturan dan kode etik hakim peradilan MK. ’’Kalau itu, no comment. Hakim dilarang mengeluarkan komentar terhadap perkara yang masuk dan akan diadili. Itu pelanggaran etika berat,” tegas dia.
Intinya, sambung Akil, setiap perkara yang masuk ke MK serta memenuhi semua persyaratan dan proses telaah di kepaniteraan, pasti disidangkan. ’’MK akan menguji UU itu. Harus disidangkan meski sedang direvisi. Soal hasilnya, ya kita tunggu putusannya,’’ pungkas dia.
Sebelumnya diberitakan, mekanisme pemecatan kepala daerah yang menjadi terpidana korupsi sebagaimana diatur UU No. 32/2004 tentang Pemda masih menyimpan celah. Celah itulah yang berpotensi dimanfaatkan kepala daerah yang tidak mau melepaskan jabatannya begitu saja.
Untuk ’’menutup’’ celah tersebut, sejumlah penggiat antikorupsi yang berhimpun dalam Tim Advokasi untuk Pemerintahan Daerah yang Bersih meminta penegasan status konstitusional terhadap pasal 30 UU Pemda. ’’Ketentuan itu sekarang masih multitafsir dan dapat menguntungkan koruptor yang berstatus kepala daerah,” kata Ketua Tim Hukum Alvon Kunia Palma. Tim advokasi tersebut terdiri atas ICW, YLBHI, PUKAT UGM, dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Sumbar.