Undang-Undang Pemerintahan Daerah kembali diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini yang bertindak sebagai Pemohon untuk perkara bernomor 67/PUU-X/2012, yaitu Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHSC). Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan digelar di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung MK, Senin (23/7). Bertindak sebagai Ketua Panel Hakim, Hamdan Zoelva yang didampingi dua Anggota Panel Hakim, Achmad Sodiki dan M. Akil Mochtar.
Hadir dalam persidangan perdana ini, Ketua Eksekutif IHSC, Gunawan yang didampingi enam kuasa hukumnya. Salah satu kuasa hukum Pemohon, Riando Tambunan menyampaikan bahwa pihaknya mengajukan permohonan Pasal 59 ayat(5) huruf g UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Riando menjelaskan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda menyatakan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pemohon memandang pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “negara Indonesia adalah negara hukum.”
“Di dalam sistem demokrasi politik yang berlaku di indonesia adanya larangan bagi TNI dan Polri untuk melakukan politik praktis, namun adanya Pasal 59 ayat (5) huruf g membuka ruang bagi TNI dan Polri melakukan politik praktis. Selanjutnya lagi juga kami menyatakan bahwa Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda ini juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” papar Riando.
Riando melanjutkan bahwa dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Dalam UU yang sama juga ditegaskan anggota kepolisian negara Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih dan dapat menduduki jabatan non-kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Bagi kami terjadi ambiguitas bahwa di satu sisi UU Pemda membolehkan dengan adanya surat pernyataan diri sementara di dalam Pasal 28 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan larangan yang tegas,” jelas Riando.
Pemohon juga menyatakan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda juga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pemohon meyakini bahwa hak memilih dan dipilih secara politik itu adalah hak asasi dan konstitusi yang dijamin oleh negara. Namun, pada kenyataannya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menyatakan secara tegas bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta kehormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Bagi kami pembatasan ini seharusnya telah menjadi rambu yang jelas bagi anggota TNI atau Polri di dalam menggunakan hak politiknya. Baru selanjutnya lagi, kami juga menyatakan bahwa Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda juga bertentangan dengan Pasal 30 UUD 1945 yang menyatakan ‘Tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha keamanan negara.’” Masih ujar Riando.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon kemudian mengajukan petitum yang di antaranya meminta MK untuk menyatakan Pasal 59 ayat (a) huruf g UU Pemda konstitusional dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sejauh frasa surat pernyataan mengundurkan diri harus ditafsirkan dengan telah adanya surat keputusan nonaktif dari atasan sebagai salah satu persyaratan untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah yang berasal dari anggota TNI dan/atau Polri.
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sejauh frasa surat pernyataan mengundurkan diri harus ditafsirkan dengan telah adanya surat keputusan non-aktif dari atasan sebagai salah satu persyaratan untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah yang berasal dari anggota TNI dan/atau Polri. (Yusti Nurul Agustin/mh)