INILAH.COM, Jakarta - Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar, peneliti PUSAKO Sumbar Feri Amsari, dan ICW mengajukan judicial review atau uji materi Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/7/2012).
Kuasa hukum pemohon, Alvon Kurnia Palma, saat mendaftarkan gugatan mengungkapkan, jumlah mantan kepala daerah dan kepala daerah aktif yang terjerat dalam kasus korupsi dari waktu ke waktu terus bertambah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat raker dengan Komite I DPR bahkan memaparkan adanya 155 kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi dan 17 orang di antaranya adalah gubernur.
"Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana hingga Maret 2011 tercatat 175 kepala daerah, 17 gubernur, dan 158 orang bupati dan wali kota, yang menjalani pemeriksaan di KPK," terangnya.
Dia mencermati, penerapan pemberhentian kepada kepala daerah yang tersandung masalah korupsi, seperti yang diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah tidak berjalan mulus. Bahkan, terkesan memberikan ruang bagi perlawanan balik dari para koruptor saat posisinya sebagai kepala daerah hendak dilengserkan.
Alvon menyinggung mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin, yang mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait pemberhentiannya. Yakni dengan menganggap Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU Pemerintah Daerah sebagai multi-tafsir. "Pasal ini jika ditafsirkan lain, maka akan seperti kasus Agusrin," katanya didampingi peneliti ICW Donal Fariz.
Sekadar diketahui, Pasal 30 ayat (1) UU Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan."
Adapun Pasal 30 ayat (2) UU Pemerintah Daerah adalah "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Dua pasal itu, lanjut Alvon, dimaknai bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD.
Bila putusan pengadilan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, kepala daerah/wakil kepala daerah bersangkutan diberhentikan sementara dan bila putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap diberhentikan secara permanen (tetap).
Donal Fariz menambahkan, masalah yang muncul dari Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) adalah adanya multi tafsir. Ayat (1), ditafsirkan sebagai kepala daerah dan wakilnya bisa diberhentikan presiden tanpa usulan DPRD. Sementara pada ayat (2) adalah terkait pemberhentian tetap berdasarkan ayat satu. Hal yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1), yakni hak atas pengakuan jaminan dan kepastian hukum yang adil.
"Kasus Agusrin contohnya. Setelah terancam hukuman empat tahun, dia mengajikan gugatan ke PTUN. Akhirnya pemberhentian tetapnya ditunda," katanya.