Para penyelenggara fasilitas olahraga golf bisa bernapas lega. Pasalnya Mahkamah Konstitusi memutuskan kata “golf” tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK dengan Nomor 52/PUU-IX/2012 ini dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan didampingi olehenam hakim konstitusi lainnya pada Rabu (18/7).
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Sodiki di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah, dikemukakan bahwa dasar pengenaan pajak termasuk pajak daerah tidak dapat dilakukan hanya karena adanya kebutuhan untuk pembangunan demi kemaslahatan umum sehingga mencari orang-orang atau bidang pelayanan jasa yang memiliki kemampuan membayar. Pengenaan pajak harus mempertimbangkan segala aspek, termasuk jenis usaha atau kegiatan yang dapat dikenai pajak serta aspek keadilan bagi wajib pajak. Menurut Mahkamah, golf adalah salah satu jenis olahraga prestasi yang dipertandingkan baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, harus diakui pula bahwa orang bermain golf ada juga yang tidak untuk tujuan prestasi melainkan untuk tujuan kesehatan, rekreasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, golf tidak dapat dikelompokkan sebagai sebuah hiburan semata-mata, sehingga dapat dikenai pajak hiburan. Pengenaan pajak atas permainan golf dapat mengakibatkan hilangnya peminat olahraga ini, sehingga tidak adanya pencapaian prestasi yang memberi semangat dan kebanggaan nasional bagi suatu bangsa.
“Bagi penyelenggara fasilitas olahraga golf, pengenaan pajak hiburan akan mengakibatkan penambahan beban karena pengadaan maupun pemeliharaan lapangan golf yang sangat mahal ditambah dengan pajak bumi dan bangunan yang lebih tinggi yang dibayarkan kepada negara. Padahal di sisi lain, penyelenggara fasilitas olahraga golf juga dikenai pajak lainnya seperti pajak restoran dan pajak parkir yang juga berkontribusi pada kas daerah,” jelas hakim konstitusi.
Mengenai pengenaan pajak ganda terhadap olahraga golf, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU 28/2009 yang dimaksud objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran, sementara subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati hiburan. Dengan demikian objek pajak permainan golf adalah jasa penyelenggaraan fasilitas olahraga golf dan subjek pajaknya adalah orang pribadi atau Badan yang bermain golf, yang dipungut oleh pemerintah daerah di tiap-tiap daerah kabupaten/kota. Prinsipnya, setiap barang dan jasa akan dikenakan PPN kecuali yang disebutkan sebagai negative list PPN, atau ditetapkan oleh pemungut pajak untuk dikecualikan dari PPN. “PP 144/2000 tidak menyebutkan jasa penyelenggaraan olahraga golf sebagai jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Jasa di bidang hiburan yang dikecualikan oleh PP 144/2000 hanya jasa di bidang hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan, sedangkan permainan golf sebagaimana dimaksud oleh UU 28/2009 bukanlah sebagai tontonan, namun sebagai permainan. Dengan demikian, penyelenggaraan olahraga golf tidak termasuk ke dalam negative list PPN, dan oleh karenanya merupakan objek PPN,” jelas hakim konstitusi.
Berdasarkan fakta tersebut menurut Mahkamah telah terjadi pengaturan pengenaan pajak ganda untuk objek pajak yang sama yaitu penyelenggaraan fasilitas olahraga golf, yang merupakan objek PPN, dan di sisi lain juga merupakan objek Pajak Hiburan. Oleh karena itu, Mahkamah sependapat dengan Ahli T.B Eddy Mangkuprawira yang menerangkan bahwa tumpang tindih pengenaan pajak oleh dua Undang-Undang yang berbeda terhadap satu objek pajak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pemungutan pajak atau abuse of power yang melahirkan stigma power to tax is the power to destroy. Terlepas dari apakah dalam praktik pengenaan pajak ganda ini terjadi atau tidak, karena Mahkamah tidak mengadili penerapan norma, namun berdasarkan ketentuan tersebut pengenaan pajak hiburan atas objek pajak jasa penyelenggaraan sarana olahraga golf potensial dikenai pajak ganda yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin oleh konstitusi. “Berdasarkan uraian di atas, menurut Sembilan Hakim Konstitusi kecuali Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, pengenaan pajak hiburan terhadap cabang olahraga golf bertentangan dengan prinsip perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan hukum,” urai hakim konstitusi.
Dissenting Opinion
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Sodiki, golf merupakan hiburan yang mengandung unsur olahraga. Dengan mengambil kesimpulan yang ditarik dari praktik bahwa golf dipertandingkan dalam Pekan Olahraga Nasional dan bukan dari suatu norma yang tegas (expresive verbis) bersumber pengertian golf dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 sebagai olahraga dan kemudian membandingkannya dengan Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai hiburan ---- yang menurut para Pemohon kemudian dipungut pajak ---- maka oleh para Pemohon hal itu dipandang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Hal ini tentunya tidak tepat, karena suatu istilah yang sama alau ditempatkan pada ranah ilmu yang berbeda akan mempunyai arti yang berbeda pula. Hal itu disebabkan penekanannya yang berbeda. Demikian juga istilah golf yang disimpulkan dari praktik dan istilah golf yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak bisa dipertentangkan karena masing-masing mempunyai sudut pandang sendiri menurut sistimnya. Jadi golf harus dipandang dari sudut hukum pajak bukan hukum olahraga (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005).
Sodiki menjelaskan Para Pemohon hanya mengambil kesimpulan karena praktik bahwa golf dipertandingkan dalam pesta olahraga tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan pasal tentang golf dari Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional, karena memang Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional tidak satupun menyebut perkataan golf. Namun dengan argumentasi praktik tersebut telah melawankan dengan penggolongan golf ke dalam hiburan yang dicantumkan dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g, sehingga permasalahannya pada tataran legalitas bukan masalah konstitusionalitas. “Para Pemohon tidak menguraikan Pasal 42 ayat (2) huruf g yang menggolongkan golf sebagai hiburan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 1 yang menggolongkan olahraga ke dalam 6 (enam) golongan tersebut tidakmenyebutkan adanya jenis olahraga hiburan. Dengan demikian tidak salah jika Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang a quo memasukkan golf ke dalam jenis hiburan. Apalagi jelas bahwa pemain golf dipungut bayaran, oleh sebab itu ia menjadi objek pajak hiburan yang merupakan jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Bahwa pada akhirnya, pajak akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai manifestasi fungsi sosial demi terciptanya keadilan sosial atas dasar prinsip proporsionalitas, sehingga permohonan para Pemohon seharusnya ditolak,” tandas Sodiki. (Lulu Anjarsari)