MK Kabulkan Aturan Buruh Dapat Ajukan PHK
Senin, 16 Juli 2012
| 19:22 WIB
Jakarta, 16/7 - SIDANG PLENO PUTUSAN. Pemohon Prinsipal Andriyani (tengah) usai menerima berita salinan putusan terkait Pengujian UU tentang Ketenagakerjaan di Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruhnya permohonan pengujian Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Putusan Nomor 58/PUU-IX/2012 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh enam hakim konstitusi lainnya.
“Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: ‘Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu’,” ucap Mahfud pada Senin (16/7) di ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah berpendapat merujuk kasus ketenagakerjaan yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan, pembayaran upah tepat waktu merupakan hal yang sangat penting bagi buruh/pekerja Indonesia. Hal tersebut, lanjut Hamdan, karena upah tersebut seringkali merupakan satu-satunya penghasilan yang dijadikan tumpuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sehari-hari. Hamdan melanjutkan, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi pekerja atas pembayaran upahnya. “Apabila kepastian dalam pembayaran upah tidak dapat diwujudkan oleh pengusaha, dalam hal ini pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 dan pekerja berhak menerima hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (2) UU 13/2003,” ujar Hamdan membacakan putusan permohonan yang dimohonkan oleh Andriyani, buruh PT Megahbuana Citramasindo.
Selain itu, terang Hamdan, hak pekerja untuk mendapatkan PHK tidak terhalang oleh adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan PHK oleh pekerja ke pengadilan, dengan ketentuan bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha. Hal itu untuk melindungi hak-hak pekerja untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang adil dan hak pekerja untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
“Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu oleh pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan pekerja untuk mendapatkan PHK? Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon ternyata di Pengadilan Hubungan Industrial, permohonan PHK dari Pemohon ditolak oleh pengadilan karena pengusaha kembali membayar upah Pemohon secara tepat waktu setelah sebelumnya tidak membayar secara tepat waktu lebih dari tiga bulan berturut-turut. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkret, telah cukup bukti bahwa ketentuan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional pekerja untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi,” jelasnya.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Mahfud, Mahkamah berkesimpulan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo serta dalil-dalil Pemohon berdasar dan beralasan menurut hukum. “Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: ‘Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu’,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)