Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Guna menganalisis pasal tersebut, maka digunakanlah teori pembagian kekuasaan dalam suatu negara.
Secara umum, teori pembagian kekuasaan terbagi menjadi tiga. Pertama adalah kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membentuk UU. Kedua adalah kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan menjalankan UU untuk mencapai tujuan dalam membentuk negara. Ketiga adalah kekuasaan judikatif atau juga disebut judicial power.
Lebih lanjut Fadlil menjelaskan, orang yang mendirikan negara, artinya mendirikan suatu organisasi kekuasaan. Organisasi itu diartikan sebagai pembagian.
“Jadi, organisasi kekuasaan itu dapat dipahami sebagai pembagian kekuasaan,” jelas Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro Semarang, Senin (16/7) pagi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Fadlil melanjutkan, meskipun organisasi diasumsikan sebagai satu kesatuan, tapi praktiknya tidak demikian. Setiap orang memiliki keinginan, kreativitas yang belum tentu sama satu sama lainnya. Karena itu memungkinkan muncul perselisihan-perselisihan dalam suatu negara.
“Perselisihan-perselisihan dalam suatu negara tidak boleh dibiarkan, harus diselesaikan. Agar negara dapat terpelihara secara efektif dan tercapai tujuannya,” ujar Fadlil.
Oleh karena itulah dibentuk kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kalau kekuasaan legislatif itu membentuk UU, kekuasaan eksekutif itu menyelenggarakan UU dalam rangka mencapai tujuan negara.
“Sedangkan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan negara yang memiliki karakter merdeka, diadakan untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan, manakala terjadi sengketa dalam penyelengaraan negara, atau antara warga negara, maupun antara negara dengan masyarakat dalam suatu negara,” urai Fadlil panjang lebar.
Dengan demikian, kata Fadlil, lembaga yang disebut dengan kekuasaan kehakiman berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, menyelesaikan sengketa supaya keadaan dapat dipulihkan kembali seperti sediakala. “Sehingga tujuan negara dapat tercapai secara efektif,” tandas Fadlil.
Dalam kesempatan itu Fadlil juga menerangkan soal mekanisme politik yang mendasarkan pada prinsip sistem mayoritas. Sistem mayoritas ini, sebelum terjadi perubahan UUD 1945 (1999-2002), dianggap mewakili seluruh rakyat. Dengan demikian, UU yang telah dibentuk, tidak dapat diganggu gugat atau diuji.
Faktanya, ujar Fadlil, ada minoritas yang merasa tertindas dari UU. Oleh sebab itu, tidak selamanya mayoritas yang mencerminkan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan secara ekstrem, UU bisa saja digunakan tidak murni untuk menyejahterakan rakyat. Namun bisa saja digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang membuat UU. (Nano Tresna Arfana/mh)