Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 60/PUU-X/2012 perihal Pengujian Pasal 58 huruf o No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah digelar untuk kedua kalinya, Jumat (13/7). Perkara yang dimohonkan oleh Bupati Barito Timur, Zain Alkim itu memasuki sidang kedua beragenda perbaikan permohonan. Melalui kuasa hukumnya, Zain menyampaikan bahwa pihaknya telah membuat perbaikan permohonan pada beberapa poin seperti yang disarankan oleh panel hakim pada sidang pendahuluan.
“Yang Mulia, berdasarkan sidang terdahulu kami mencoba berusaha memenuhi apa saran-saran dan nasihat-nasihat dari Majelis Yang Mulia, berkaitan dengan perbaikan permohonan. Oleh karena itu, perbaikan permohonan dalam sidang kali ini, kami memfokuskan pada, pertama aspek legal standing-nya Pemohondan penajaman terhadap uraian terhadap kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,” ujar salah satu kuasa hukum Pemohon, Jamaluddin Karim di awal sidang.
Jamaluddin melanjutkan bahwa pihaknya juga melakukan perbaikan lain sesuai nasihat dari panel hakim, antara lain perbaikan pada posita atau alasan-alasan yang bersifat kaidah normatif dan penambahan pada inspirasi sebagai argumentasi atas norma non-retroaktif dengan perbandingan dengan hukum Islam.
Pasal 58 huruf o yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon berbunyi seperti berikut. Pasal 58: Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat : (o) belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Terkait dengan Pasal 58 huruf o tersebut yang telah kerap kali diajukan untuk diuji oleh Mahkamah, Pemohon beragumentasi bahwa MK sebelumnya telah mempertimbangkan pada beberapa kali uji konstitusional bahwa antara satu pengujian dengan lainnya berbeda, namun sama dalam substansi. Contohnya pada Putusan Mahkamah No. 8/PUU-VI/2008 tanggal 6 Mei 2008, MK menyatakan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangannya kala itu karena dalam kaitan dengan jabatan kepala daerah, pembatasan yang tertera pada Pasal 58 huruf o tersebut dimaksudkan untuk diimplementasikan oleh undang-undang dalam bentuk pembatasan dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama atau pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama tidak berturut-turut atau pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama di tempat yang berbeda.
Sedangkan dalam putusan MK yang lain, lanjut Jamaluddin, MK menolak permohonan Pemohon dalam perkara a quo dengan pertimbangan hukum, yaitu meskipun seorang kepala daerah menduduki jabatan selama dua periode berdasarkan undang-undang yang berbeda. Undang-undang yang berbeda itu termasuk diantaranya UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 atau pun UU No. 32 Tahun 2004 dan yang telah diubah terakhir menjadi UU No. 12 Tahun 2008.
Karena itu Pemohon tetap ingin melanjutkan permohonan pengujiannya dengan alasan-asalan lain yang juga terkait hal kekinian, yaitu pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Timur yang akan diselenggarakan pada tahun 2013. Pada intinya, Pemohon merasa masih berkesempatan mencalonkan diri karena saat Pemohon menjabat sebagai Bupati Barito Timur pada periode pertama dan kedua, UU Pemda yang berlaku merupakan UU Pemda yang lama atau yang belum mengalami perubahan.
Terakhir, usai menjelaskan panjang lebar mengenai logika-logika hukum yang pihaknya pakai, Jamaluddin juga mengatakan petitum permohonan juga mengalami perbaikan. “Jadi terakhir, kami juga perbaiki petitumnya. Petitumnya yang kami perbaiki menjadi bahwa kepada Majelis Hakim Yang Mulia berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut. Pertama, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kedua,m enyatakan Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945. Ketiga, menyatakan Pasal 58 huruf o UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Keempat, memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagai mestinya atau apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya,” tutup Jamaluddin. (Yusti Nurul Agustin/mh)