Makna yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Undang-Undang Perkawinan tentang konstitusionalitas norma atas hak anak di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah membuka jalan hukum bagi subjek hukum (pria) yang harus bertanggung jawab terhadap anak biologisnya melalui mekanisme peradilan dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir.
“Putusan MK harus dimaknai pembuka dalam hukum. Jadi tidak langsung, namun harus ada pembuktian (di Pengadilan),” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kepada puluhan Pegawai PT. Bank Central Asia (BCA) Tbk, dari perwakilan sejumlah kantor wilayah di seluruh Indonesia, Jumat (13/7), di Gedung Menara BCA, Jakarta.
Acara yang diadakan oleh PT. BCA, Tbk tersebut mendiskusikan implimentasi putusan Mahkamah Konstitusi secara umum, dan khususnya UU Perkawinan yang dimohonkan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan Nomor Perkara 46/PUU-VIII/2010.
Kemudian sebagai narasumber tunggal dalam acara tersebut, Marida Farida selanjutnya mengatakan bahwa putusan tersebut juga mengandung makna untuk menitikberatkan pada pemberian jaminan perlindungan keperdataan atau perlindungan hukum dalam aturan perundang-undangan kepada anak dengan tetap tidak melegalkan perzinaan. “Negara tidak boleh membiarkan bahwa anak itu tidak punya hak, dan tidak boleh diskriminasi antara dia dan orang lain,” jelasnya.
Sementara Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974 sebelum putusan MK telah menyebutkan, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Namun pasal tersebut, kata Maria Farida, mengakibatkan anak yang lahir dari perkawinan menurut agama islam dengan seorang pria yang tidak tercatat secara resmi akan kehilangan status sebagai anak sah secara hukum dengan segala akibatnya.
Padahal dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) yang menjadi salah satu batu uji yang dimohonkan oleh Pemohon telah menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu, kata Maria Farida, Mahkamah dalam putusannya menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Disamping berbicara seputar putusan MK tentang UU perkawinan, Maria Farida juga menjelaskan pengertian status anak yang lahir diluar pernikahan. Menurutnya, Mahkamah telah menjelaskan dalam pendapatnya bahwa pengertian anak yang lahir diluar perkawinan tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Perkawinan. “Ketidakjelasan rumusan dalam norma tersebut menimbulkan multi interpretasi,” terang Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan itu.
Multi-interpretasi tersebut diantaranya adalah, lanjut Maria Farida, anak yang lahir dari kedua orang tua yang melakukan perkawinan menurut agama tetapi tidak dicatatkan secara hukum. Kemudian, pengertian yang lain adalah anak yang lahir dari kedua orang tua yang tidak melakukan perkawinan, atau lahir dari hubungan seksual suka sama suka.
“Jika hukum memberikan stigma kepada anak sebagai anak yang tanpa bapak dan tanpa ada yang bertanggungjawab bagi kelangsungan hidup dan tumbuh berkembang secara wajar, maka hal tersebut merupakan ketidakadilan dan kesewenangan yang dilakukan oleh negara,” urai hakim konstitusi tersebut dihadapan peserta diskusi.
Sebelumnya, Maria Farida juga secara gamplang memaparkan seputar sejarah berdirinya MK di Indonesia. Katanya, pada saat kemerdekaan lembaga untuk menguji UU sudah pernah diusulkan oleh Moh. Yamin. Namun usulan tersebut ditentang langsung oleh Soepomo dengan alasan UUD yang disusun tidak menganut trias politica, dan belum banyak sarjana hukum yang berpengalaman pada saat itu. (Shohibul Umam/mh)