MAKASSAR, FAJAR -- Pelantikan dan rapat kerja pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah XI-A Sulawesi, Kamis 12 Juli kemarin, berlangsung istimewa. Pelantikannya dihadiri ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof Dr Mahfud MD, yang sekaligus menjadi dewan Penasehat PB Aptisi, dan menjadi Keynote Speaker.
Dalam sambutannya, Mahfud meminta Aptisi untuk ikut andil dalam dunia perpolitikan di negeri ini. "Tapi, bukan berarti berpartai politik," kata Mahfud. Menurut Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), banyak yang salah mempersepsikan, bahwa berpolitik itu berarti ikut menjadi pendukung partai politik dan kandidat politik tertentu.
Padahal, kata dia, banyak perangkat politik yang bisa saja melibatkan perguruan tinggi. Beberapa perangkat politik tidak bekerja dengan baik, karena tidak tidak telibatnya Perguruan tinggi.. "Misalnya, lembaga survei. Hasil penelitian sejumlah lembaga survei independen di Jakarta, kemarin, menunjukkan incumbent, Foke (Fauzi Bowo), unggul dengan perolehan suara 40 persen. Padahal, setelah dilakukan perhitungan cepat, tidak ada hasil survei yang betul. Hasilnya berbeda terlalu. Dalam metodologi survei, hasil penelitian seperti ini harusnya hanya meleset sektiar dua persen," kata dia.
Menurut Mahfud, hampir semua lembaga survei tidak menjalankan metodologi survei dengan baik, karena gampang dibeli oleh salah satu kandidat. "Untuk itu, perguruan tinggi harusnya mengambil alih. Perguruan tinggi harus ikut berpartisipasi dengan membentuk lembaga survei yang independen," kata dia.
Hal lain yang Mahfud tegaskan adalah, Aptisi harus terus berjuang menghilangkan sekat-sekat dan kesan kasta yang lahir di dalam dunia pendidikan. "Sekolah membuat lahirnya kasta-kasta. Sehingga ukuran derajat sosial seseorang selalu dilihat dari sertifikat, ijazah, termasuk tingkat akreditasi jurusannya," kata dia. Aspek Akseptabilitas, Elektabilitas seseorang menjadi tolok ukur. Sementara, aspek lain, yakni moralitas, yang mendorong karakter insan pendidikan, diabaikan. Padahal, itu lebih penting.
Para pengurus Aptisi Wilayah Sulawesi yang membawahi wilayah Sulawesi Selatan, Barat, Tengah, dan Tenggara, yakni Ketua Umum Prof Hambali Thalib, SH MH, Wakil Ketua I Prof Dr Baso Amang SE MS, Wakil Ketua II Dr Irwan Akib, Serta beberapa Ketua Bidang dan Divisi.
Menurut Hambali Thalib, beberapa hal yang mencuat yang akan dibahas dalam Rapat Kerja Aptisi Sulawesi di antaranya, program-program untuk memperjuangkan nasib perguruan tinggi swasta yang terkesan didiskriminasi oleh pemerintah.
"Padahal, swasta juga mendidik dan membentuk putra-putri bangsa. Beberapa diskriminasi yang selama ini terjadi misalnya, syarat mengelola beasiswa untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta). PTS harus memiliki akreditasi minimal B, supaya bisa terima beasiswa. Sementara PTN, itu tidak diatur secara ketat," kata dia.
Selain itu, kata dia, hal yang juga akan dibahas adalah, Aptisi tekait pengangkatan tenaga dosen sebagai PNS yang tidak pernah lagi dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir. "Selama ini, PTS diminta untuk mengangkat dosen tetap Yayasan saja. Padahal, itu memberatkan yayasan. Selama ini, pemerintah hanya memberi bantuan biaya insentif untuk dosen swasta," kata Hambali. Untuk itu, Aptisi ingin agar pemerintah juga mengangkat tenaga dosen negeri (PNS) yang ditugaskan di PTS Swasta.
Dengan begitu, setiap PTS di Sulawesi bisa tumbuh dengan baik. "Untuk saat ini, sudah ada sekitar 300 PTS di Sulawesi, dan sebagian memang susah untuk tumbuh karena bantuan infrastruktur yang minim, dan tenaga dosen kurang. PTS didiskriminasi karena dianggap kurang sehat. Padahal, banyak kok PTS yang punya kualitas baik," kata Hambali.