Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dimohonkan untuk uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (10/7). Perkara yang teregister dengan Nomor 64/PUU-X/2012 dimohonkan oleh Magda Safrina.
Dalam permohonannya, Pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukumnya mengungkapkan hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi".
Pemohon yang sedang menjalani gugatan perceraian di Mahkamah Syariah Banda Aceh mengungkapkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) menghalangi akses dirinya untuk memperoleh informasi mengenai harta gono-gini, terutama mengenai pemeriksaan deposito berserta simpanan yang dimiliki oleh suami Pemohon. “Pemohon dalam pengajuan gugatan perceraian Mahkamah Syariah Banda Aceh. Materi muatan mengenai harta bersama, simpanan tabungan dan deposito di sejumlah bank dan disimpan atas nama suami saya. Sesuai UU perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam putusnya perceraian harta bersama diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, seluruh harta yang diperoleh selama pernikahan berlangsung, baik istri ataupun suami. Namun sejumlah harta bersama disimpan atas nama suami, ketika didaftarkan di Mahkamah Syariah, pihak suami menyangkal keberadaan deposito tersebut,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki. Begitu Mahkamah Syariah Banda Aceh ingin meminta klarifkasi kepada bank terhadap hal tersebut, yang terjadi justru pihak bank tidak memperbolehkan karena adanya Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2).
“Pihak bank beralasan bahwa kerahasiaan tentang simpanan dan harta yang disimpan di bank wajib dijaga oleh bank. Saya selaku Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU No. 10/1998 terutama Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2). Saya berhak atas milik tersebut dan tidak dapat diambil sewenang-wenang diperlakukan secara diskriminatif. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) melanggar hak konstitusional saya, berpotensi merugikan saya, dan kehilangan hak saya yang diperoleh selama pernikahan,” terangnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Harjono memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Menurut Akil, pertentangan norma antara Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) dengan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. “Apakah hak konstitusional saudara untuk menikah itu terhalangi dengan adanya Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2)? Relevansinya kurang terukur. Yang paling banyak diuraikan adalah permasalahannya. Yang dihadapi sekarang itu entri point untuk masuk. Proses perceraian di pengadilan agama, terkait dengan harta gono-gini, Saudara mengalami kesulitan untuk memperoleh akses tentang keberadaan harta suami yang menurut saudara adalah harta gono-gini. Terhalang oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) hanya memberi kewenangan kepada bank untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank dan lainnya, bukan termasuk hak warga negara ketika dalam perceraian yang berhadapan dengan masalah seperti ini,” saran Akil.
Sementara Harjono menyarankan agar Pemohon mempertimbangkan untuk mengubah petitumnya karena jika pasal a quo dibatalkan, hal tersebut menyebabkan kerahasiaan bank tidak ada lagi. “Nanti berbahaya, hanya menambahkan penafsiran saja, sepanjang pasal tersebut tidak menghalangi keberadaan hak konstitusional yang dialami oleh pemohon,” ujarnya. (Lulu Anjarsari/mh)