Dalam rangka menyukseskan program Kuliah Kerja Lapangan (KKL), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Jurusan Syariah, Prodi Al-Ahwal Al-Syaksiyyah (Perdata Islam), Provinsi Jawa Tengah, berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/7) pagi. Mereka yang berjumlah puluhan mahasiswa, didampingi dosen pembimbing tersebut ingin mendapatkan pengetahuan seputar lembaga peradilan MK, termasuk kewenangan dan kewajibannya.
Rombongan itu diterima di Ruang Konferensi Pers, Gedung MK, oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan kemudian dilanjutkan dengan paparannya tentang sejarah dan seputar putusan-putusan yang pernah MK putuskan sesuai dengan keinginan mereka bertandang. Dalam awal penuturannya, Fadlil Sumadi mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 yang terjadi setelah reformasi paling subtansial terdapat dalam Pasal 1.
Menurutnya, norma yang terkandung dalam Pasal 1 telah mengubah hubungan antar lembaga negara yang semula bersifat vertikal, sekarang berubah manjadi hubungan yang bersifat horizontal. “Oleh karena tidak ada lembaga negara tertinggi, maka hubungannya sekarang berubah bersifat check and balances. Hubungan yang saling mengawasi dan salin mengimbangi,” terang alumni program doktor Universitas Diponegoro tersebut.
Dikatakan Fadlil lagi, dahulu ada sebuah lembaga negara tertinggi penjelmaan dari rakyat yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun dengan adanya perubahan UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) menyebutkan, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”,menurutnya, sekarang tidak cuma MPR jelmaan dari rakyat, tetapi seluruh penyelenggara negara harus dikontruksikan sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat menurut UUD 1945.
Disisi lain dengan adanya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil dari perubahan yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, kata Fadlil, negara Indonesia adalah negara hukum atau menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. “Jadi kalau ada Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan konstitusi, maka harus diberi kesempatan untuk diuji berdasarkan dengan konstitusi (UUD 1945),” terangnya.
Berdaasarkan hal demikian, menurut salah satu hakim konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai lembaga yang dibentuk untuk menguji UU yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi atau UUD 1945. “Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan fungsi pengujian itu (pengujian UU terhadap UUD 1945),” jelasnya.
Sedangkan menanggapi pertanyaan yang sempat terlontar dari mahasiswa berkenaan dengan pengujian UU Perkawinan yang dimohonkan oleh Machica Mochtar. Menurut Fadlil, dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebelum putusan MK telah menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dan, Pemohon beralasan tidak mungkin dia hamil tanpa ada yang menghamili atau tidak ada bapaknya.
“Kok anak saya hanya diakui punya hubungan hukum dengan saya, kanapa dengan yang bikin tidak,” ingat Fadlil, menirukan pernyataan dari Pemohon kala itu.
Sehingga dengan alasan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertanyaakan bahwa mengapa hukum atau UU Perkawinan meniadakan hubungan anak dengan bapaknya, hanya mencantumkan ibu dan keluarga ibunyanya. Padahal tanpa ada hubungan ibu dan bapak, anak tidak akan bisa lahir. “Oleh karena itu, Mahkamah mengungkapkan pasal itu tidak benar secara konstitusional,” ungkap Fadlil Sumadi dalam menjelaskan dihadapan para Mahasiswa Hukum Perdata Islam tersebut. (Shohibul Umam/mh)