Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan atas pengujian UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD 1945. Permohonan ini tercatat dengan dua nomor berbeda, yakni Perkara Nomor 54/PUU-X/2012 dan Perkara Nomor 55/PUU-X/2012. Para Pemohon yang mengajukan, yakni Partai Nasional Indonesia, Noviantika Nasution dan Max Lau Siso (kader PDP), Badikenita Sitepu (kader PNBKI), dan Lasmidara (Kader PPDI) selaku Pemohon Perkara No. 54/PUU-X/2012 serta Partai Nasdem selaku Pemohon Perkara No. 55/PUU-X/2012.
Dalam sidang tersebut, Para Pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya. Muhammad Rullyandi selaku kuasa hukum Partai Nasdem menjelaskan telah memperbaiki permohonan terutama mengenai batu uji UUD 1945. “Pasal-pasal a quo tidak memenuhi asas keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, karena memberikan dua persyaratan berbeda bagi calon peserta pemilu. Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) UU a quo bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena adanya persyaratan yang berbeda bagi Partai Politik yang lolos ambang batas pada Pemilu sebelumnya dan terhadap Partai Politik baru untuk diverifikasi,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Sementara itu, Para Pemohon Perkara Nomor 54/PUU-X/2012 juga telah memperbaiki kedudukan hukum (legal standing). Agus Supartono S. selaku Ketua Umum PNI menjelaskan bahwa pemohon perseorangan yang merupakan kader dari PDP, PNBKI serta PPDI mengubah kedudukan hukumnya menjadi badan hukum publik. “Terkait dengan legal standing pencampuran yang harmonis atas ideologi yang sama Pemohon 2 sampai dengan pemohon 5 melakukan penggabungan dan menjadi satu pemohon satu, jadi PNI. Tentang UUD sebagai batu uji, kami menambahkan Pasal 22A UUD 1945. Petitum dilakukan perbaikan,” jelas Agus.
Para Pemohon dalam permohonannya mempersoalkan syarat peserta pemilu yang mendiskriminasi antara partai politik yang memenuhi ambang batas parlemen atau dikenal dengan parliamentary threshold (PT) pada pemilu sebelumnya dengan yang tidak memenuhi syarat PT tersebut. Selain itu, ketentuan PT dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan menimbulkan kekacauan masyarakat. Kenaikan PT dari 2,5 persen menjadi sebesar 3,5 persen dianggap merusak adanya kemajemukan bangsa dan menyebabkan banyaknya entitas serta komunitas lokal tidak terwadahi juga terwakili. Dalam permohonannya para Pemohon mengujikan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012. Pemohon menganggap hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 22E (1), Pasal 28D (1), dan Pasal 28I (2) UUD 1945 dirugikan akibat berlakunya pasal a quo. (Lulu Anjarsari/mh)