Ketika sebuah lembaga peradilan kehilangan independensi, putusan bisa dibeli, hakim bisa disuap, hakim bisa bertransaksi dengan pihak-pihak yang berperkara, maka hal itu menjadi sangat luar biasa bahaya. “Ini bahaya besar bagi sebuah negara hukum. Jangan berharap, putusan yang dihasilkan akan mempersembahkan keadilan,” ucap Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Palembang yang berkunjung ke MK, Rabu (4/7) pagi.
Kemudian soal ketidakberpihakan atau imparsialitas hakim. Bahwa hakim diharapkan menjadi ‘wasit’ yang adil. Begitu juga hakim konstitusi diharapkan menjadi ‘wasit’ yang adil, fair, tidak berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Namun, berpihak kepada hukum dan keadilan. “Konstitusi kita sudah menegaskan bahwa peradilan itu diselenggarakan untuk menegakkan hukum dan keadilan,” kata Fajar.
Hukum dalam arti tertulis, di dalamnya belum tentu mengandung keadilan. Bisa jadi keadilan dijumpai ketika kata-kata yang tersurat itu digali lebih dalam. Dengan demikian, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan.
“Hal inilah yang menjadi paradigma besar yang dianut bangsa Indonesia sekarang, setelah perubahan UUD 1945. Kita tidak lagi sekadar menganut rechtstaat. Sebelum perubahan UUD 1945, dalam penjelasan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Tapi sekarang sudah dinetralisir, tidak lagi disebut rechstaat, menjadi Indonesia adalah negara hukum.
Artinya, ini soal paradigma hukum,” urai Fajar.
Dikatakan Fajar, rechtstaat seperti yang dianut eropa kontinental, mengedepankan hukum tertulis, hukum positif. Sedangkan the rule of law lebih mengedepankan keadilan. Oleh sebab itu, banyak hakim ketika memutus suatu perkara, tidak terpaku pada satu undang-undang. Kalau undang-undang menghalangi tercapainya keadilan, maka undang-undang itu diabaikan dan hakim bisa membentuk hukum sendiri.
“Nah, perpaduan antara rechtstaat dan the rule of law, terutama sisi-sisi baiknya itulah yang kemudian diakomodir sebagai paradigma besar sistem hukum di Indonesia. Tidak sekadar mengedepankan hukum tertulis, tetapi juga mengedepankan keadilan. Jadilah kemudian dengan apa yang disebut dengan sistem hukum Pancasila, yang merupakan prismatika antara sistem-sistem hukum yang ada, termasuk rechtstaat dan the rule of law,” papar Fajar panjang lebar.
Fajar melanjutkan, sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi menganut paradigma hukum progresif dan keadilan substantif. Hukum progresif mengatakan bahwa hukum untuk manusia, hukum bukan untuk hukum. Ketika ada yang salah dari hukum, jangan menyalahkan manusianya, tetapi hukumnya yang harus diubah untuk kepentingan manusia.
Sedangkan keadilan substantif tidak sekadar prosedural, tidak sekadar memperhatikan hal-hal yang formil. Ketika satu UU menghalangi terciptanya sebuah keadilan, maka Mahkamah Konstitusi tidak segan-segan untuk mengabaikan hal itu. Ia mencontohkan saat Pilpres 2009, dalam DPT cukup banyak orang tidak tercantum namanya, sehingga tidak bisa ikut Pilpres saat itu.
“Namun saat pengujian UU Pilpres, dalam pertimbangan hukumnya MK mengatakan DPT itu soal prosedural, jangan mengalahkan substansinya berupa hak memilih warga negara. Karena tidak tercantum dalam DPT, jadi tidak bisa ikut memilih, ini kan menjadi aneh. Oleh karena itu kemudian MK membuat putusan yang sangat diapresiasi yaitu membolehkan warga negara menggunakan paspor atau KTP untuk memilih,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/mh)