Salah satu yang harus dipahami dalam melakukan tahapan pemilihan umum khususnya penggunan pemilihan umum secara elektronik (e-Voting) adalah adanya perhatian dan dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Dimana kendala yang bersifat teknis dan non-teknis akan muncul mengingat sifat plural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia selama ini.
“Persiapan pemungutan suara harus ada perhatian, karena semakin baik persiapannya akan semakin baik keberhasilan penggunaan e-Voting itu sendiri,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki saat menjadi keynote speech dalam acara Dialog Nasional Menuju Pemilu Elektronik Indonesia, yang bertajuk “Peluang dan Tantangan Penerapan Pemilu Elektronik di Indonesia” pada Selasa (3/7) di Gedung Auditorium, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.
Harus disadari, Sodiki mengatakan lagi, kesadaran politik masyarakat Indonesia tidak merata, kesadaran hukum dalam ketentuan Pemilu juga tidak merata. Bahkan dalam sidang di MK, ada sejumlah masyarakat atau saksi yang dihadirkan dipersidangan oleh masing-masing pihak tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
“Bayangan saya, bagaimana bisa memahami Undang-Undang Pemilu, kalau membaca dalam bahasa Indonesia saja tidak bisa,” tutur Sodiki di hadapan ratusan peserta dialog nasional, yang terdiri atas Gubernur, Bupati, Walikota, ketua atau anggota DPRD, serta KPUD dari sejumlah daerah di Indonesia.
Selain itu, budaya dan nilai-nilainya yang tidak sama juga harus dipahami dalam melaksanakan Pemilu. Dikarenakan kata Sodiki, budaya yang ada di Indonesia timur berbeda dengan budaya di daerah lain. Mereka dalam melakukan pemungutan suara menggunakan sistem pembagian. Pasalnya, sifat kolektif yang dimiliki oleh mereka tidak mau pecah cuma hanya persoalan Pemilukada yang sudah diatur dalam perundang-undangan. “Dan itu cara mereka untuk menyepakati untuk mempertahankan persatuan mereka,” terangnya.
Sehingga Sodiki membayangkan apabila program e-Voting juga diterapkan di masyarakat yang belum siap dengan kebijakan tersebut, maka akan muncul persoalan yang sama. “Saya bisa membayangkan, kalau e-Voting tetap dilakukan bagi meraka, kira-kira juga menghadapi kendala begitu,” ucap Rektor Universitas Islam Malang, priode 1998 s.d. 2002, 2002 s.d. 2006 ini.
Sementara Guru Besar Ilmu Hukum ini juga mengatakan bahwa tingkat teknologi dan pendidikan harus dipersiapkan dalam Pemilu. Karena kebanyakan masyarakat Indonesia timur masih mengalami buta huruf sehingga kesulitan apabila mengisi surat rekapitulasi suara yang diberikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). “Jadi tidak bisa mengisi lembar rekap yang diberikan. Padahal, Bawaslu mengawasi rekapitulasi bukan merekap sendiri,” jelasnya.
Selain Wakil Ketua MK, acara yang diselenggarakan oleh BPPT bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri tersebut juga mendengarkan keynote speech dari Ketua KPU Husni Kamil Malik, Ketua Bawaslu Muhammad, dan Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa.
Dalam penuturannya, Muhammad mengakui bahwa proses Pemilukada yang berlangsung selama ini hampir semuanya berakhir di lembaga MK. Sangat sedikit proses Pemilukada tidak berakhir di lembaga yang masih terbilang baru tersebut. Bahkan, Muhammad memprediksi, proses Pemilu nasional tahun 2014 mendatang, juga akan berakhir di lembaga MK itu.
Salah satu penyebab mengapa proses Pemilukada selalu berakhir di sana, lanjut Muhammad, adalah persoalan legalitas. Dimana domain pentingnya adalah pengawasan Pemilu. Oleh karena itu, ia dalam setiap pelantikan dan bimbingan teknis mengatakan kepada jajaran pengawas Pemilu untuk bisa membantu dan berkontribusi sehingga menghasilkan Pemilukada yang tidak berakhir di MK, maka Bawaslu akan menyiapkan penghargaan. “Saya berikan motivasi seperti itu,” katanya. (Shohibul Umam/mh)