Segenap mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta berkunjung ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (2/7) pagi. Kedatangan mereka diterima oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Dalam kesempatan itu Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan berbagai hal terkait mengenai Mahkamah Konstitusi.
“Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari kekuasaan negara yang menurut teori terbagi dalam tiga rumpun kekuasaan,” ungkap Fadlil kepada para mahasiswa.
Tiga rumpun kekuasaan, pertama adalah kekuasaan yang mewakili rakyat yaitu kekuasaan legislatif. Tugas legislatif adalah merumuskan hal-hal yang menjadi kehendak rakyat dalam negara. Hasil rumusannya berupa undang-undang. “Kekuasaan yang kedua adalah kekuasaan eksekutif. Tugas eksekutif adalah menyelenggarakan kemauan rakyat yang telah dirumuskan oleh kekuasaan legislatif,” ujar Fadlil.
Selanjutnya, ada kekuasaan judikatif atau juga disebut judicial power. “Kalau dulu, kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan pengadilan, menyelenggarakan kehendak rakyat yang bentuknya berupa undang-undang sampai ke bawah,” kata Fadlil.
Kehendak rakyat yang berupa UU dan peraturan-peraturan sampai ke bawah, manakala terjadi sengketa, Mahkamah Agung atau peradilan yang di bawahnya yang menyelesaikan kalau terjadi sengketa di antara mereka, atau kalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang sejatinya juga kehendak rakyat.
“Kalau dulu, Presiden lah yang memegang kekuasaan legislatif dan DPR yang menyetujui. Sekarang tidak, saat ini DPR lah yang memegang kekuasaan membentuk UU dan Presiden yang menyetujui,” terang Fadlil.
Fadlil memaparkan pula, sejak Indonesia merdeka pada 1945 sampai 2003, Indonesia menganut suatu prinsip bahwa UU tidak dapat diganggu gugat atau dilakukan pengujian UU. Karena UU dibentuk oleh wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. “Pemilihan umum merupakan transaksi perwakilan dari rakyat kepada rakyat,” imbuh Fadlil.
Lebih lanjut Fadlil menjelaskan soal mekanisme politik yang mendasarkan pada prinsip sistem mayoritas. Sistem mayoritas ini, sebelum terjadi perubahan UUD 1945 (1999-2002), dianggap mewakili seluruh rakyat. Dengan demikian, UU yang telah dibentuk, tidak dapat diganggu gugat atau diuji.
“Faktanya ada minoritas yang merasa tertindas dari UU. Oleh sebab itu, tidak selamanya mayoritas yang mencerminkan seluruh rakyatIndonesia. Bahkan secara ekstrem, UU bisa saja digunakan tidak murni untuk menyejahterakan rakyat. Namun bisa saja digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang membuat UU,” ucap Fadlil.
Oleh sebab itu, kata Fadlil, UU harus bisa diuji berdasarkan Konstitusi. Hal ini sama saja menguji kehendak sebagian besar terhadap kehendak seluruh rakyat. “Itulah filosofinya prinsip pengujian konstitusionalitas UU,” tandas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)