Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 (UU APBN 2012) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (29/6), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 58/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh beberapa Pemohon, yakni Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Prakarsa Masyarakat Untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Trade Union Rights Centre (TURC), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Dani Setiawan (Ketua Koalisi Anti Utang /KAU).
Dalam permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 /2011 serta Pasal 7 ayat (6a), 15A dan 15B Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012. Pemohon melalui kuasa hukumnya Janses S. Sihaholo menjelaskan menilai Pasal 7 ayat 6a bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945.
“Kami menilai bahwa dalam proses pembahasan Pasal 7 ayat (6a) tidak memenuhi prinsip keterbukaan tersebut, dimana dalam proses mekanisme pembahasan RUU pada umumnya lahir berdasarkan lobi. Dan kami menilai bahwa ini mengandung muatan ... yang bersifat sebangun dengan rezim liberisasi harga bahan bakar minyak dunia karena menggantungkan penentuan harga BBM hanya melalui Indonesian Crude Price dan harga minyak internasional,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Harjono.
Kemudian Pemohon mempermasalahkan bantuan langsung sementara sebesar Rp17,8 triliun dan dana infrastruktur pedesaan sebesar Rp7,8 triliun sebagaimana terdapat Pasal 15A dan 15B undang-undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dengan alasan besaran kedua dana kompensasi tidakmempunyai dasar pertimbangan yang matang. Kedua. Bahwa dana bantuan langsung sementara masyarakat tersebut berkaitan erat dengan Pasal 7 ayat (6a) dan merupakan satu kesatuan yang berarti besaran dana kompensasi tergantung pada ada/tidaknya kenaikan BBM. Adapun besaran dan kompensasi adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang tidak terbuka dan tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan alasan bahwa tidak ada kejelasan tentang penetapan besaran dana kompensasi dan jumlah penerima dana kompensasi,” paparnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva memberikan saran perbaikan kepada pemohon. Ketua Hakim Panel Harjono meminta agar para pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya. Selain itu, karena kedudukan hukum yang diperbaiki dari perseorangan menjadi badan hukum, Harjono melanjutkan hal tersebut berpengaruh pada norma yang digunakan sebagai batu uji.
“Lalu yang harus diperhatikan adalah kalau Pemohon itu sebagai badan hukum, tentu hak badan hukum itu beda dengan hak bukan badan hukum, kalau orang itu punya hak untuk hidup dan kehidupannya yang dilindungi oleh hak asasi manusia, apa bisa sebuah badan hukumyang bukan orang secara biologis punya hak untuk hidup? Yang punya badan hukumnya atau anggotanya? Kalau punya anggota, ya kan? Jadi menyangkut status ini juga menyangkut dalil-dalil tentang hak konstitusi mana yang kemudian dilanggar, ya kan? Anda akan membela haknya sebagai badan hukum ini atau akan membela hak orang lain? Yang jelas. Konstruksinya jangan bercampur aduk gitu,” urainya.
Sementara Hamdan Zoelva meminta agar pemohon mengkontruksi ulang dalil-dalil permohonannya. “Alasan Saudara memohon pengujian Pasal 7 ayat (6a) terhadap Pasal 23 ayat (1). Apa yang Saudara uraikan di sini adalah mengenai proses, proses yang tidakterbuka dan proses yang tidak melibatkan masyarakat. Ya, menurut Saudara bertentangan dengan Pasal 23. Pertanyaan saya, apakah pengujian ini pengujian formal atau pengujian materiil? Kalau mengenai proses itu adalah pengujian formal. Pengujian formal itu implikasinya seluruh undang-undangnya batal karena proses. Tapi kalau pengujian materiil lain lagi, hanya khusus terhadap pasal yang bersangkutan. Coba saudara perhatikan ya,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)