Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terkait sengketa mengenai wilayah Pulau Berhala pada Kamis (27/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Dua perkara sekaligus berkaitan dengan masalah tersebut digelar MK, yakni Perkara Nomor 47/PUU-X/2012 serta Perkara Nomor 48/PUU-X/2012. Keduanya dimohonkan oleh orang yang sama, yakni Mantan Ketua DPRD Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Alias Wello.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR serta saksi/ahli, Pemerintah mempertanyakan mengenai kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon sebagai perseorangan warga negara akibat berlakunya UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Prov. Kepulauan Riau (UU Kepri) dan UU No. 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kab. Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi dan Kab. Tanjung Jabung Timur. Suharmansyah selaku perwakilan Pemerintah mengungkapkan permohonan Pemohon tidak logis.
“Permohonan (Pemohon) tidak cukup logis. Pembentukan otonom lebih dahulu dibentuk Tanjung jabung Timur, daripada Kepulauan Riau dan Kabupaten Lingga. Sebagai warga negara, sesungguhnya tidak akan dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon tetap mendapatkan hak konstitusional dalam penyelenggaran negara dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, kami mohon MK berkenan memeriksa dan mengadili apakah pemohon benar-benar dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Penjelasan Pasal 3 UU Kepri serta Pasal 9 ayat (4) UU Pembentukan Kab. Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi dan Kab. Tanjung Jabung Timur,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil ketua MK Moh. Mahfud MD.
Selain itu, Suharmansyah menjelaskan dalil yang diajukan oleh Pemohon tidak cukup kuat dari aspek konstitusionalitas untuk sampai pada kesimpulan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. “Kerugian yang dialami Pemohon merupakan implementasi akibat diberlakukan UU a quo. Masalah yang ada adalah mengenai penafsiran cara pembacaan peta. Adanya dalil bahwa batas sebelah utara Laut Cina Selatan menyebabkan Kabupaten Lingga masuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur justru bertentangan dengan UU No. 13/2000 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Pokok persoalan adalah keberadaan pulau berhala sudah diatur secara yuridis dalam UU No. 25/2002 dan dituangkan dalam SK Mendagri No. 44/2011 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung,” papar Suharmansyah.
Pembatalan SK Mendagri oleh MK tersebut menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dalam penentuan Pulau Berhala. Dalam SK Mendagri No. 44/2011, lanjut Suharmansyah, wilayah administrasi Pulau Berhala termasuk ke dalam Provinsi Jambi, namun SK Mendagri tersebut dibatalkan oleh MA. “Dalam kerangka NKRI, tidak boleh ada wilayah yang tidak bertuan.
Mengenai efektivitas pemda, kami tidak mempersoalkan (Pulau Berhala) berada di bawah Kepri atau Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang terpenting adalah penyelesaian Pulau Berhala kepada MK akan menjadi keputusan final yang ditaati semua pemangku kepentingan. Untuk itu, Pemerintah menyerahkan kepada MK untuk memeriksa dan mengadili,” terangnya.
Majelis Hakim Konstitusi menunda sidang berikutnya pada Selasa, 17 Juli 2012 pada pukul 11.00 WIb. Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi maupun ahli, baik dari Pemerintah, DPR, maupun Termohon. (Lulu Anjarsari/mh)