Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang dimohonkan Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan Hamdani Prayogo memasuki sidang keempat, Rabu (27/6). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Profesor Sastra dari UGM, Siti Chamamah Soeratno hadir memberikan keterangan sebagai Ahli Pemohon dalam sidang yang diketuai Hakim Konstitusi, Harjono. Chamamah mencermati penggunaan bahasa yang dipakai dalam pasal yang dimohonkan Pemohon untuk diuji.
Chamamah memulai paparan materinya dengan menyatakan bahwa ia akan memberikan keterangan terkait penggunaan bahasa hukum dalam Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. Selanjutnya Chamamah mengatakan pengujian kebahasaan suatu pasal dalam suatu undang-undang perlu memperhatikan bahasa dan bahasa hukum yang digunakan.
Lebih lanjut Chamamah mengatakan penggunaan bahasa dalam undang-undang merupakan ragam resmi atau lebih dikenal dengan istilah ragam bahasa baku atau ragam standar. Ragam baku tersebut bercirikan penggunaan kaidah bahasa yang lengkap. “Ragam resmi dipakai untuk kepentingan resmi, formal. Di antaranya kepentingan membuat undang-undang. Jadi bahasa hukum termasuk undang-undang adalah wacana teknis dan ragamnya ragam resmi, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam baku,” papar Chamamah mengenai bahasa hukum.
Hukum, lanjut Chamamah, sebagai alat penegak ketentuan bagi setiap orang harus dapat dijangkau, dapat diketahui, dapat dipahami, dan dapat diterima oleh pihak-pihak penerima ketentuan hukum dengan jelas, tegas, lugas, dan tidak menimbulkan interpretasi ganda melalui wujud bahasanya. Bagi pemakai hukum, bahasa merupakan media memahami hukum. Artinya, tanpa bahasa tidak ada hukum sebab tidak ada hukum yang hanya disimpan di batin. “Untuk menjaga kepastian hukumnya, bahasa sebagai media penyampai hukum, harus berpotensi memberi kejelasan, memberi kepastian, dan tidak membuka penerimaan yang ganda. Maka ciri-ciri bahasa hukum adalah jelas, padat yang artinya semua kata yang dipakai berfungsi tidak ada kata mubazir, netral atau tidak memihak, dan lugas berarti tidak menggunakan kata-kata yang berbunga-bunga dan tidak menggunakan kata yang maknanya tak terukur,” papar Chamamah panjang lebar mengenai kriteria bahasa hukum.
Terkait dengan Pasal 73 ayat (2) yang dimohonkan Pemohon untuk diuji, Chamamah menjelaskan kesalahan-kesalahan bahasa di dalam pasal tersebut. Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran itu berbunyi, “(2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
Di dalam kalimat Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran itu Chamamah menemukan kutipan pasal tersebut tidak baku karena tidak mempunyai subjek. “Subjek itu tentang apa? Siapa? Itu subjek jadi tidak jelas. Unsur kalimat yang harus ada dalam kalimat itu subjek. Kalau kalimat tidak ada subjek, bukan kalimat melainkan tuturan, bukan kalimat,” papar Chamamah detil.
Karena tidak memiliki unsur subjek, lanjut Chamamah, di dalam kutipan Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran maka pasal tersebut memunculkan pertanyaan tentang siapa yang dipidana. Subjek dalam kutipan pasal tersebut menjadi penting karena undang-undang menggunakan ragam baku dan ragam baku tersebut wajib memiliki subjek.
Dikaitankan dengan ayat sebelumnya, yaitu Pasal 73 ayat (1) dan pasal-pasal sebelumnya, Chamamah mengatakan kata “praktik kedokteran” perlu mendapat kejelasan. Dan, kejelasan tentang arti kata “praktik kedokteran” sudah dipaparkan pada bab I Pasal 1 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.”
Dengan begitu, dapat disarikan bahwa Pasal 73 ayat (2) yang “kehilangan” subjek sebenarnya memiliki subjek yang dijelaskan pada pasal-pasal sebelumnya, subjeknya yaitu dokter dan dokter gigi dalam melakukan serangkaian kegiatannya. “Menurut tataran bahasa, dapat diketahui bahwa undang-undang ini yang terbaca pada bab-bab, pasal-pasal, dan ayat-ayat, mengatur dokter dan dokter gigi di dalam mereka melakukan serangkaian kegiatannya. Hal ini terbaca secara eksplisit. Undang-undang yang secara eksplisit disebutkan untuk mengatur dokter dan dokter gigi, tiba-tiba pada pada Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal ikutannya yaitu Pasal 77, dan Pasal 78, mengatur bukan dokter, tetapi setiap orang. Objek aturan ini menjadi tidak sinkron dengan materi undang-undang yang kejelasannya sebagai ketentuan umum di bab I Pasal 1 tidak sesuai,” tukas Chamamah. (Yusti Nurul Agustin/mh)