Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dewasa ini masih saja melempem. Bahkan bisa dikatakan, nasib masyarakat hukum adat belum mengalami perbaikan, malah sebaliknya, semakin memburuk. Ada yang mengatakan, semakin baik di tingkat konstitusi, semakin buruk di tingkat implementasi.
Namun, tetap saja masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mulai sedikit demi sedikit menyelesaikan persoalan tersebut. Baik dari sisi pemerintah atau negara sebagai pengambil kebijakan, maupun dari gerakan akar rumput melalui sumbangan-sumbangan pemikiran yang solutif dan aplikatif.
Menurut Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, apa yang dapat dilakukan oleh negara dapat berupa hal-hal yang substantif dan yang prosedural. Yang bersifat substantif, yakni menuntut negara agar menghindari dan mencegah dikeluarkannya keputusan-keputusan serta tindakan yang menyebabkan kerusakan yang tak terhindarkan pada sumber daya alam, utamanya bagi kepentingan generasi yang akan datang.
“Kedua, melakukan regulasi terhadap segala aktifitas yang dapat merusak sumber daya alam. Dengan perkataan lain baik pemerintah, legislatif, maupun yudikatif harus mengenalkan peraturan-peraturan yang mampu mencegah terjadinya sumber daya alam,” papar Sodiki dalam makalahnya.
Demikian hal itu diungkapkan oleh Sodiki dalam Simposium Masyarakat Adat dengan tema “Mempersoalkan Keberadaan Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum”, Rabu (27/6) di Rumah Tamu 678, Kemang Raya Selatan, Jakarta Selatan. Sodiki menyampaikan makalah berjudul “Konstitusionalitas Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi”.
Di samping itu, dia juga menyarankan, sebaiknya ke depan, dibentuk komisi khusus (atau semacam Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara) yang menjadi representasi masyarakat hukum adat yang dapat melakukan tuntutan terhadap pembatalan ketentuan hukum maupun aktifitas yang membahayakan sumber daya alam.
“Komisi khusus ini melayani dan menjadi watchdog yang menyuarakan masyarakat hukum adat sekaligus dapat menjadi kuasa hukum dihadapan Mahkamah Konstitusi. Putusan-putusan Mahkamah yang menguntungkan eksistensi masyarakat hukum adat dapat menjadi a tool of social engineering (perubahan sosial),” papar Sodiki.
Selain itu, lembaga legislatif pun dapat berperan lebih aktif untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan hukum yang mengancam sumber daya alam. Setidak-tidaknya, legislatif dapat merumuskan dalam undang-undang untuk memastikan rumusan yang lebih rinci, tepat, dan adil serta pasti atas pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat.
“Dengan cara mensinergikan berbagai aspek ketentuan perundang-undangan, keputusan peradilan, aktivitas lembaga swadaya masyarakat demikian juga orientasi produk hukum yang dikawal secara ketat agar tidak mengeluarkan ketentuan hukum yang merugikan masyarakat hukum adat, maka jaminan terlindunginya masyarakat hukum akan lebih menjadi kenyataan,” simpulnya.
Pada kesempatan itu, Sodiki bertindak sebagai narasumber bersama Saldi Isra. Hadir pula sebagai fasilitator Soetandyo Wigjosoebroto dan Jaja Ahmad Jayus, serta para pemerhati masyarakat adat. (Dodi/mh)