Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas (UU Migas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/6) di Ruang Sidang Pleno MK Sidang perkara dengan Nomor 36/PUU-X/2012 yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki tersebut dimohonkan oleh beberapa organisasi masyarakat dan perseorangan, di antaranya PP Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Indonesia, PP Persatuan Ummat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, Al Irsyad Al Islamiyah dan pemohon perseorangan lainnya.
Dalam persidangan tersebut, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini menegaskan adanya surplus dari pendapat migas untuk subsidi BBM dalam APBN. Menurut Rudi, dalam Nota Keuangan 2012, tertulis pemasukan dari migas sebesar Rp 220,4 triliun, sementara pengeluaran subsisdi BBM sebesar Rp 123,6 triliun. “Maka memang benar ada surplus sebesar Rp 98,6 triliun. Akan tetapi, anggapan (pemerintah) melakukan pembohongan publik adalah keliru dan didramatisir,” ungkap Rudi.
Menurut Rudi, pendapatan migas sebesar Rp 220,4 triliun dipakai untuk mendanai subsidi itu adalah penyesatan. Rudi menjelaskan pendapatn migas tersebut juga digunakan untuk kebutuhan dalam APBN yang lain. “Penggunaan sumber daya minyak dan gas untuk mengadakan subsidi BBM itu masih keliru karena dalam APBN tidak ada perencanaan pemakaian komoditas dipakai untuk komoditas sejenis, karena dipakai secara bersama untuk semua komoditas,” terangnya.
Pendapatan yang dapat diperoleh dari penjualan BBM sebesar Rp 550 triliun, sedangkan untuk mengimpor, dan mengolah BBM sampai ke SPBU sebesar Rp 555,8 triliun. “Hal ini menunjukan adanya defisit sebesar Rp 5,8 triliun. Jadi, apabila pendapatan nasional dipakai untuk kebutuhan yang tercantum dalam APBN, maka dalam pengadaan BBM, negara dalam keadaan defisit dana akan lebih defisit bila harga minyak mentah naik lebih dari US$105/barel,” urainya.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Harjono mempertanyakan mengenai persoalan konsep subsidi. Menurut Harjono, penutup kekurangan BBM di dalam negeri karenaIndonesiamasih dapat menghasilkan BBM sebesar 930 ribu barel per hari.”Yang ada ini, menjadi pengurang dari yang dibutuhkan, lalu kekurangan inilah yang harusnya jadi subsidi. Tidak ada relevannya dengan harga SPBU. Kekurangannya saja yang masih dihitung. Kalau digabungkan antara kekurangan dengan biaya kebutuhan minyak lalu dijadikan satu per kebutuhan apa subsidi angkanya sebesar itu?” tanyanya.
Rudi menjawab bahwa produksi dalam negeri sebesar 930 ribu barel, sementara ekuivalen kebutuhan negeri ini adalah 1,4 juta barel. “Jadi, negara bukan hanya posisi sebagai net importer, tapi kita sudah menjadi importer,” jawabnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), serta Pasal 44 ayat (1) UU Migas melanggar hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, UU Migas dianggap telah merendahkan martabat negara dan melecehkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi. Sebab, telah mengakibatkan negara memiliki posisi yang sama dengan perusahaan asing dalam kontrak pengelolaan migas di Indonesia. (Lulu Anjarsari/mh)