Sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara kembali digelar di Ruang Sidang Pleno, Lantai 2, Gedung MK, Kamis (21/6). Sidang perkara bernomor 41/PUU-X/2012 itu kali ini beragendakan mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan keterangan Pemerintah.
Hadir dalam persidangan kali ini dua anggota Komisi III DPR, Nudiman Munir dan Ruhut Sitompul. Nudirman berkesempatan membacakan langsung keterangan DPR terkait permohonan dua orang mahasiswa, Denni dan Akmal Fuadi.
Nudirman membacakan keterangannya bahwa DPR menganggap Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini. Pasalnya, DPR tidak melihat ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan akibat berlakunya Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. “Mengenai kedudukan hukum Para Pemohon DPR RI berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki legal standingkarena tidak ada hak atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang telah dirugikan akibat berlakunya Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf j, serta Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara,” ujar Nudirman membacakan keterangan DPR.
Nudirman melanjutkan bahwa DPR tidak melihat ada hubungan sebab-akibat atau causal verband antara kerugian yang dinyatakan Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo yang dimohonkan Pemohon untuk diuji. Nudirman kemudian memaparkan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan telah dirugikan dengan pemanfaatan pinjaman luar negeri sampai dengan 31 Maret 2009 yang meningkat bukanlah persoalan konstitusionalitas. “DPR berpendapat bahwa bertambahnya utang negara sama sekali tidak terkait dan tidak disebabkan oleh rumusan norma Pasal 7 ayat (2) huruf j, serta Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Oleh karena itu, DPR berpendapat hal tersebut bukan persoalan konstitusionalitas norma yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” papar Nudirman di hadapan tujuh orang pleno hakim yang diketuai langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD.
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, DPR berpendapat dalil tersebut tidak terbukti. Sebab, DPR berpandangan bahwa pemberian kewenangan yang dimiliki Menteri Keuangan untuk melakukan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, pada prinsipnya merupakan kewenangan lanjutan dari pengaturan yang telah diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Keuangan Negara. “Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Keuangan Negara menyatakan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dipegang oleh presiden dikuasakan oleh menteri keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga berdasarkan Pasal 6 ayat (2) huruf a dimaksud, menteri keuangan memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara serta Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara,” jelas Nudirman.
Sedangkan Pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto menyatakan penggunaan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji dalam permohonan ini oleh Pemohon sangat tidak tepat. “Pasal yang digunakan sebagai batu uji bukanlah pasal yang memberikan hak dan atau kewenangan konstitusional kepada Para Pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mengatur mengenai kewenangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, khususnya dalam hal membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 terdapat dalam bab 3 UUD 1945 mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara, bukan mengatur tentang pemberian kewenangan konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh Para Pemohon. Dengan menggunakan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, maka telah menunjukkan bahwa permohonan Pemohon tidak mempunyai landasan hukum yang kuat,” papar Rahmat panjang lebar.
Masih terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, Pemerintah juga sependapat dengan DPR bahwa tidak terdapat hubungan meningkatnya jumlah nominal hutang luar negeri dengan masalah penandatangan naskah perjanjian hutang luar negeri. (Yusti Nurul Agustin/mh)