JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 97 Ayat 1 Undang-Undang 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Pasal tersebut mengandung ketentuan yang mengatakan jangka waktu pencegahan berlaku paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan.
"Putusan MK sudah betul, kami setuju, tidak ada masalah, memang kalau tidak ada batasan (pencegahan), tidak fair (adil)," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana di Jakarta, Kamis (21/6/2012).
Dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK, maka institusi yang berwenang hanya dapat mencegah seseorang bepergian ke luar negeri selama enam bulan dan sesudah itu hanya boleh diperpanjang satu kali saja selama maksimal enam bulan, sehingga masa pencegahan tidak lebih dari 12 bulan.
Menurut Denny, pihaknya akan melaksanakan putusan MK tersebut. Denny menilai, akan tidak adil jika pencegahan terhadap seseorang tidak dibatasi masanya.
Adapun uji materi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut diajukan Yusril Ihza Mahendra.
Dalam persidangan Rabu (20/6/2012), MK membatalkan ketentuan tentang jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
Menurut MK, frasa "dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan" itu bertentangan dengan ketentuan persamaan di hadapan hukum sebagaimana amanat UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, majelis konstitusi menguraikan bahwa pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu yang jelas mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula.
Menurut MK, hal itu akan menimbulkan ketidakadilan bagi seorang tersangka yang dikenai pencegahan ke luar negeri tanpa batas waktu yang pasti.
Pada sisi lain, hal tersebut dianggap dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan pencegahan.