Sidang pleno perkara No. 30/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) kembali digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/6). Sidang yang diketuai langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD itu beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah.
Salah satu ahli Pemerintah yang menyampaikan keterangannya di hadapan pleno hakim, yaitu Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra. Saldi memberikan keterangan terkait uji konstitusionalitas yang dimohonkan Pemohon atas Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP tersebut. Kedua pasal tersebut mengatur tentang denda yang dikenakan bagi wajib pajak bila keberatan wajib pajak maupun banding ditolak atau dikabulkan sebagian.
Terhadap hal itu Saldi mengatakan sesuai Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU. Pasal ini menurut Saldi dapat diartikan bahwa pada prinsipnya tidak ada pajak yang dibebankan bagi rakyat tanpa adanya persetujuan wakil rakyat. Keterlibatan wakil rakyat tersebut menjadi batasan agar pemerintah tidak seenaknya menetapkan pajak dan tentunya memberikan beban kepada rakyat atau pembayar pajak. “Dengan prinsip itu, pengaturan dengan undang-undang dapat dimaknai sebagai bagian untuk menjamin hak warga negara atau pembayar pajak agar tidak dikenai pajak atau pungutan lain secara semena-mena. Apabila diletakkan dalam UUD 1945 pengaturan itu justru dimaksudkan memenuhi makna jaminan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Saldi mengenai prinsip dasar pungutan pajak.
Saldi melanjutkan dengan prinsip dasar tersebut maka Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP terlalu sumir untuk dikatakan telah bertentangan dengan UUD 1945. Justru dalil Pemohon yang menyatakan kedua pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 hanya mungkin dibenarkan jika kedua ketentuan yang dipersoalkan tidak dibaca dalam konteks keseluruhan substansi dalam UU KUP atau undang-undang yang terkait lainnya.
Lebih lanjut, Saldi mengatakan sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assessment yang memberikan kepercayaan bagi wajib pajak untuk menghitung, membayar, serta melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UUD 1945, lanjut Saldi, self assessment dalam pemungutan pajak dapat dibaca sebagai perlindungan terhadap hak harta benda yang di bawah kekuasaannya. “Wajib pajak itu adalah orang yang diberikan ‘kuasa’ oleh undang-undang untuk menghitung pajaknya sendiri lalu melaporkannya kepada kantor pajak. Nah, kalau dia menghitung sendiri, dimana logikanya dia nanti akan mengajukan keberatan terhadap apa yang dia hitung sendiri?” jelas Saldi beretorika.
Karena wajib pajak diberi “kuasa” maka agar tidak digunakan untuk niat jahat pihak tertentu diatur pulalah mengenai “ ancaman” administrasi seperti yang tertuang dalam Pasal Pasal 29 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. “Sekali lagi mari kita bayangkan, jika suatu saat mayoritas pembayar pajak melakukan pengajuan keberatan dengan tujuan menunda-nunda pembayaran pajak, negeri ini akan mengalami kelumpuhan penerimaan. Dalam konteks itu, kehadiran Pasal 25 ayat (9), Pasal 25 ayat (5d) UU KUP harus dilihat sebagai langkah antisipatif pembentuk undang-undang,” tegas Saldi.
Hal senada juga disampaikan ahli Pemerintah berikutnya, yaitu Ketua Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, I Made Gde Erata. Dalam penjelasannya Erata mengatakan, UU KUP yang telah mengalami tiga kali perubahan itu memiliki landasan yang terpenting, yaitu mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan aparatur pajak. Di dalam perubahan ketiga UU KUP prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan dalam UU KUP tetap dipertahankan.
Membahas hal yang sama seperti Saldi, Erata mengatakan sistem self assessment memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaporkan jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak pun diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan namun diharapkan sebelum menyampaikan surat keberatan, sesuai dengan Pasal 25 ayat (3a), wajib pajak sudah membayar paling sedikit jumlah pajak sesuai dengan yang disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Kalau pasal-pasal yang diajukan untuk diuji oleh Pemohon tidak ada, tambah Erata, maka akan terjadi upaya penundaan pembayaran selama 30 bulan oleh wajib pajak dengan sengaja karena tidak dikenakan sanksi. “Tujuan dari ayat-ayat ini, tujuan dari sanksi administrasi ini, tidak dengan maksud menghalang-halangi keinginan wajib pajak mencari keadilan, tetapi lebih memberikan rasa keadilan kepada para wajib pajak yang telah dengan taat melaksanakan kewajiban perpajakannya,” tegas Erata menjelaskan tujuan sebenarnya pasal-pasal yang hendak dibatalkan oleh Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)