Berlandaskan penentuan banyaknya nilai yang menjadi tolok ukur suatu tindak pidana adalah kewenangan pembentuk undang-undang, maka sebagai lembaga peradilan tata negara, Mahkamah Konstitusi dalam ketetapannya menyatakan tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon.
“Sehingga permohonan Pemohon untuk mengubah frasa “dua ratus lima puluh rupiah” menjadi “dua juta lima ratus ribu rupiah” yang tertera dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1) KUHP tidak termasuk kewenangan maupun kewajiban Mahkamah Konstitusi,” urai Ketua MK sekaligus pimpinan sidang Moh. Mahfud MD, saat membacakan ketetapan Nomor 27/PUU-X/2012, di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (20/6).
Dikatakan Mahfud lagi, ketetapan tersebut diputus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Perkara ini adalah dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang teregistrasi pada tanggal 8 Maret 2012 dengan Nomor 27/PUU-X/2012 dan telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 April 2012.
Dalam permohonannya, mereka mengujikan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Kata-kata ‘vijf en twintig gulden’ dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384 clan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi ‘dua ratus lima puluh rupiah”.
Seperti diberitakan, Pemohon menilai denda dua juta lima ratus ribu rupiah tersebut layak untuk menggantikan denda sebanyak dua ratus lima puluh rupiah yang diatur sebelumnya. “Menurut fakta sosiologis keberadaan Pasal 1 Perpu No. 16 Tahun 1960 sudah tidak lagi memberikan perlindungan dan menjadi persoalan yang serius untuk tindak pidana ringan. Jumlah tahanan bertambah banyak karena perkara-perkata tindak pidana ringan yang seharusnya dapat diadili dengan ketentuan acara cepat menjadi diadili dan diproses dengan menggunakan ketentuan acara pidana yang biasa,” tegas Wahyudi selaku Kuasa Hukum Pemohon.
Oleh karena itu, dalam permohonannya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “dua ratus lima puluh rupiah” sepanjang tidak dimaknai sebagai “dua juta lima ratus ribu rupiah”. (Shohibul Umam/mh)