Jakarta - Penyelesaian korban lumpur Lapindo hingga kini belum juga tuntas. Para korban hanya menginginkan pembayaran sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Sama sekali tak ada hasrat untuk ikut-ikutan arus politik menjegal Aburizal Bakrie.
"Saya pribadi sebagai korban Lapindo menentang upaya politisasi Lapindo, karena kami hanya ingin pembayaran selesai, bukan ikut-ikutan arus politik untuk menjegal Aburizal Bakrie atau siapa pun," kata Sekretaris Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) Khairul Huda saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (20/6/2012).
Soal gugatan ke Mahkamah Konstitusi, lanjut dia, jika hal itu dikabulkan, maka bisa berdampak merugikan bagi warga yang tinggal di luar area terdampak. Lebih parah lagi, warga lumpur Lapindo disinyalir tidak mendapatkan pembayaran dari pemerintah.
"Kami sebagai korban lumpur Lapindo melihat gugatan tersebut salah alamat," ujar Khairul.
Dituturkan dia, ada 3 warga penggugat Pasal 18 UU Nomor 4 tahun 2012 soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012, terkait penanggulangan lumpur Lapindo. Gugatan tersebut dinilai sebagai tindakan yang tidak adil bagi korban lumpur Lapindo.
"Jika ini yang terjadi, tentu akan membuat warga di luar area terdampak merasa diperlakukan tidak adil dan bisa memperkeruh suasana. Kalau memang itu tujuan di balik gugatan ke MK, kami sebagai korban akan menentang balik dan tidak akan bersimpati pada gerakan mereka, termasuk siapa di belakang aksi mereka," cetus Khairul.
Ketiga pemohon tersebut adalah Drs.Ec.H. Tjuk K.Sukiadi (pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya), Purnawirawan Marinir Suharto, dan Ali Akbar (penulis buku berjudul Konspirasi SBY-Lapindo dan peneliti kasus lumpur Lapindo). Sebagai pembayar pajak, ketiganya merasa dirugikan. Uang hasil pajak yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi malah ditujukan untuk pembiayaan akibat kesalahan korporasi PT Lapindo Brantas.