Bermula ingin mengetahui secara langsung lembaga peradilan tata negara Mahkamah Konstitusi (MK) beserta kewenangan dan kewajibannya, puluhan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Kalianda Lampung, didampangi dosen pembimbing, datang ke Jakarta untuk berkunjung ke MK, Jumat (15/6) pagi.
Mereka diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi di Ruang Konferensi Pers, Gedung MK, Jakarta. Kemudian, Fadlil Sumadi memulai menjelaskan perubahan UUD 1945 yang berimbas terbentuknya MK di Indonesia sesuai dengan salah satu keinginan yang disampaikan oleh sejumlah mahasiswa tersebut.
Menurutnya, Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada tahun 1999-2002 berlangsung secara serial dalam empat tahun. Dalam hal ini, perubahan yang paling fundamental terjadi dalam Pasal 1 ayat (2), berbunyi, “Kedaulatan barada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dengan adanya perubahan tersebut, kata Fadlil Sumadi, negara Indonesia tidak lagi mengenal Supremacy of Parliament atau menempatkankan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara sesuai dengan UUD 1945 sebelum amandemen, namun yang tertinggi setelah perubahan adalah konstitusi (supremasi konstitusi).
“Oleh karenanya implikasi dari perubahan tersebut menjadikan lembaga-lembaga negara penyelenggara sejajar, dan tidak ada yang paling tinggi. Yang paling tinggi adalah konstitusi,” urai Doktor Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro itu.
Dijelaskan lagi oleh Fadlil Sumadi, implikasi yang lain juga ada dengan adanya perubahan UUD 1945 kala itu. Semisalnya, sebelum perubahan seluruh kewenangan dan tugas lembaga negara kecuali MPR, diberikan sendiri melalui MPR. “Sehingga setiap tahun atau lima tahun, dia (sejumlah lembaga Negara kecuali MPR) bertanggung jawab kepada MPR,” terangnya.
Namun pasca perubahan, lanjut Fadlil, hal demikian tidak lagi terjadi. Disebabkan hubungan antar lembaga negara setelah perubahan bersifat sederajat, dan sifat hubungannya bersifat check and balances atau hubungan saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain.
Terbentuk MK
Selanjutnya, sambung Fadlil Sumadi, selama bangsa Indonesia merdeka sampai sekitar tahun 2003, konstitusi tidak pernah bisa ditegakkan. Ketika itu hanya presiden yang bisa menegakkan. Padahal presiden menjadi bagian dari subyek hukum yang diatur oleh konstitusi, dan presiden juga tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah seseorang atau badan hukum tersebut konstitusional atau tidak konstitusional.
“Oleh karena itu, kita menginginkan konstitusi sebagai hukum harus bisa ditegakkan,” tegasnya. Sehingga, menurut Fadlil, Undang-Undang Dasar 1945 saat itu mengubah pelaksanaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung, dan peradilan di bawahnya, serta oleh Mahkamah Konstitusi.
Berbicara salah satu kewenangannya, MK mempunyai kewenangan menguji undang-undang. Dalam kewenangan ini, menurut Fadlil, MK melalui mekanisme peradilan melakukan pengujian terhadap peraturan perudang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara. “Peraturan undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konsitusi itu hanya di undang-undang saja,” jelasnya.
Sementara itu, peraturan perundang-undang dibawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi undang-undangnya sendiri apabila dilakukan pengujian diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. “Jadi (Mahkamah Konstitusi) menguji undang-undang terhadap UUD 1945,” terangnya. (Shohibul Umam/mh)