Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Kamis (14/6) di Ruang Diklat Lt. 8, Gedung MK. Ketua MK didampingi oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Sedangkan dari Bawaslu, hadir Ketua Bawaslu Muhammad didampingi anggotanya: Nasrullah, Endang Wihdatiningtyas, Daniel Zuchron, dan Nelson Simanjuntak.
Dalam pertemuan tersebut, hadir pula Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, Panitera MK Kasianur Sidauruk, dan Kepala Biro Humas dan Protokol Budi Achmad Djohari.
Tujuan pertemuan ini, menurut Muhammad, adalah untuk menjalin komunikasi dan membangun kesamaan pandangan terkait beberapa hal antara Bawaslu dengan MK, khususnya berkaitan dengan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), termasuk Pemilukada. “Untuk menyamakan persepsi,” ujarnya.
Selain itu, dalam pertemuan tersebut, Muhammad juga menginformasikan bahwa pihaknya (baca: Bawaslu) secara periodik mengadakan rapat koordinasi seluruh Panitia Pengawas (Panwas) terkait penyelesaian perkara PHPU di MK. Di mana, Bawaslu akan membekali seluruh Panwas dengan berbagai hal, khususnya terkait tata cara dan bahan apa saja yang diperlukan saat memberi keterangan di MK serta pengetahuan tentang hukum acara MK.
“Panwas-Panwas yang akan bersaksi di MK itu kami kumpulkan dan kami bekali terlebih dahulu,” tegasnya. “Agar keterangannya bisa benar-benar dipertimbangkan oleh MK.”
Dalam rangka itulah dia meminta kepada MK untuk bisa memperkuat kerja sama yang terbangun antara Bawaslu dengan MK selama ini. Di samping itu, dia juga meminta kepada MK, agar hanya mempertimbangkan keterangan Panwaslu yang mendapat rekomendasi dari Bawaslu saja ketika mengadili perkara PHPU.
Setelah Muhammad mengutarakan maksud kedatangannya, Mahfud pun memberikan tanggapan. Menurut Mahfud, pihaknya sangat mengapresiasi inisiatif Bawaslu tersebut.
Namun, Mahfud mengakui, faktanya selama ini memang keterangan Panwaslu tidak selalu harus dipertimbangkan dalam menyelesaikan perkara-perkara PHPU Kepala Daerah. Sebab, jika perkara dinyatakan tidak dapat diterima, maka tentu saja keterangan Panwas tidak diperlukan. “Karena tidak masuk ke dalam pokok perkara,” jelasnya.
Akan tetapi, dalam praktik jika memang perlu mendengarkan keterangan Panwaslu, maka MK selalu meminta rekomendasi melalui Bawaslu. “Kalau tidak ada rekomendasi Bawaslu maka tidak kami dengarkan,” kata Mahfud.
Selain itu, terkait persoalan adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian masalah administrasi Pemilukada, menurut Mahfud, telah ada kesepakatan antara Ketua MK, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, Ketua Komisi Pemilihan Umum, dan Ketua Bawaslu.
Dalam pertemuan itu, kata dia, telah diambil kesepakatan bersama. Kesepakatannya adalah, jika putusan TUN ada setelah putusan MK, maka putusan TUN tersebut tidak usah dilaksanakan. “Putusan TUN itu tidak memiliki nilai eksekutorial, itu hanya deklarasi saja,” ujarnya. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni putusan TUN lebih dahulu dibandingkan putusan MK, maka tentu saja putusan TUN tersebut akan dijadikan pertimbangan oleh MK.
Menurut Mahfud, setiap perkara yang masuk ke MK, hampir semuanya diwarnai kecurangan. Oleh sebab itu, kerja sama antara MK dengan Bawaslu sangatlah diperlukan. Sehingga, wibawa penegakan hukum serta tegaknya demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil benar-benar terwujud. “Semua harus saling dukung demi kebaikan,” imbuh Mahfud.
Achmad Sodiki mengingatkan, dalam menyelesaikan persoalan terkait Pemilu, tidak cukup hanya memahami ketentuan perundang-undangan saja. “Tapi juga putusan-putusan MK,” tutupnya. (Dodi/mh)